Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 memang merupakan langkah signifikan dalam upaya memulihkan keadilan sejarah bagi Bung Karno, namun kita tidak boleh terjebak dalam romantisme semata. Ini seharusnya menjadi momen refleksi kritis bagi bangsa Indonesia untuk mengevaluasi bagaimana sejarah telah digunakan sebagai alat kekuasaan, baik oleh rezim Orde Baru maupun aktor-aktor lainnya—untuk membentuk narasi yang menguntungkan segelintir pihak. Sejarah 1965 tidak bisa lagi dipandang sebagai sekadar konflik ideologis antara komunis dan anti-komunis; ada banyak dimensi politik, ekonomi, dan sosial yang terabaikan dan harus disorot dengan lebih cermat.
Generasi muda harus diajarkan untuk tidak menerima begitu saja narasi sejarah yang sudah diatur oleh kepentingan tertentu. Ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran kritis bahwa sejarah tidaklah statis, melainkan dinamis dan penuh kompleksitas. Bung Karno tetap merupakan figur sentral yang perannya dalam sejarah harus dipahami secara utuh dan tanpa distorsi. Namun, upaya pelurusan sejarah ini tidak boleh berakhir hanya dengan mengembalikan nama baik satu tokoh; lebih dari itu, harus ada komitmen untuk mengungkap kebenaran sejarah secara keseluruhan.
Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 harus menjadi awal dari kajian ulang yang lebih luas dan mendalam terhadap sejarah bangsa ini. Kita harus berani menantang narasi-narasi yang selama ini dianggap sebagai “kebenaran” tanpa bukti yang kuat, dan siap menerima kompleksitas serta ambiguitas yang mungkin muncul. Hanya dengan pendekatan ini, kita bisa membangun pemahaman sejarah yang lebih adil, objektif, dan berpihak pada kebenaran, bukan kepentingan politik semata. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarahnya, dan pembelajaran itu hanya mungkin jika kita jujur dalam menatap masa lalu, tanpa memanipulasinya untuk kepentingan jangka pendek.
Oleh: Dr. Benny susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara
Komentar