Drama PDI Perjuangan: Hipokrisi yang Merusak Demokrasi

Mana ada urusan politik perwakilan rakyat jadi “urusan internal partai”? itu misteri kedua. Misteri yang agak aneh (atau norak) karena surat menyurat resmi partai kepada KPU itu ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen partai. Jadi ini jelas urusan resmi partai yang juga jadi urusan publik, terutama puluhan bahkan ratusan ribu konstituen.

Mestinya khan mereka bisa dong menerangkan duduk persoalan kenapa mesti Harun Masiku yang didorong-dorong untuk duduk di kursi parlemen? Namun sayangnya bukannya menerangkan duduk perkaranya malah kedudukan perkaranya jadi makin digelapkan.

Soal wakil rakyat terpilih (sesuai UU dan aturan KPU) jelas bukan ‘urusan internal partai’. Ini menyangkut suara rakyat pemilih yang mesti dihormati. Tapi sayangnya perkara yang mendasar seperti ini saja tidak pernah dijawab dengan gamblang (jelas dan terbuka). Kenapa?

Ya, kita ngotot kembali ke soal misterius pertama, kenapa mesti Harun Masiku? Siapa sih dia? Apa pentingnya seorang Harun Masiku mesti didudukan di parlemen? Apa lagi dengan menyabot hak rekan separtainya sendiri yang sudah dilantik? Mengapa? Apakah ini juga termasuk mafia-politik? Entahlah, masih gelap. Semoga saja kasus ini bisa terkuak tuntas. Tidak seperti HP Harun Masiku yang direndam air.

Banyak pengamat sudah tahu sejak lama bahwa di dalam tubuh partai ada persaingan antara kedua saudara tiri, Puan Maharani versus Prananda Prabowo. Masing-masing pihak tentu punya para loyalisnya.

Kabarnya, kelompok Prananda dengan Hasto bersama para sekondannya adalah yang agresif “menyerang” Jokowi. Di sisi lainnya kelompok Puan bersama Bambang Pacul dan kawan-kawan adalah yang lebih “lunak” alias mendiamkan sambil sesekali membela dengan pernyataan “jangan melawan orang baik”.

Setelah diumumkan secara resmi bahwa Jokowi dipecat dari PDIP dan fakta adanya persaingan di tubuh parpol banteng yang mewarnai era suksesi kepemimpinan, maka semakin tersingkap pula alasan mengapa Jokowi tidak mengembalikan KTA-nya selama ini. Walaupun ini juga merupakan dugaan kuat, karena Jokowi tidak pernah mengatakannya dengan jelas,

Dugaan kuatnya adalah bahwa selama ini Jokowi menahan diri untuk tidak menyerahkan KTA-nya demi memberi kesempatan kepada PDIP agar bisa meminta kepadanya untuk jadi “solusi” (walau sementara waktu) agar bisa jadi Ketum agar kemelut “persaingan antar dua saudara tiri” sebagai pewaris aset politik besar berupa parpol banteng bisa dimungkinkan untuk diredam dan sebisa mungkin dihilangkan.

Betapa besar dan luas hati kenegarawanan Jokowi kalau cerita ini benar. Ia sama sekali tidak mementingkan dirinya, tapi semata memandang realitas bahwa partai ini biar bagaimana pun adalah asset bangsa yang eksistensinya nyata (riil) dalam kancah politik nasional. Paling tidak dalam lima tahun kedepan. Bahkan kemungkinan besar satu atau dua dekade kedepan. Sehingga harus diselamatkan.

Tapi faksi keras kepala tidak tinggal diam. Ungkapan Jokowi mau menghancurkan PDIP ini terdengar keluar dari mulut Deddy Sitorus, salah seorang petinggi partai banteng. Dalam wawancaranya dengan KompasTV ketika ditanyakan tentang hubungan (komunikasi) Jokowi dengan PDIP atau terutama dengan Bu Mega sejauh ini, dijawabnya: “Hubungan bagaimana, orang cita-cita dia menghancurkan PDIP kok masih ada hubungan dari mana?” (Wawancara KompasTV dengan Deddy Sitorus, Maret 2024).

Deddy Sitorus dan Hasto Kristiyanto adalah dua petinggi dari parpol besar, tapi sayang tidak punya ketinggian cara pandang dan kebesaran hati untuk menjernihkan persoalan kepada masyarakat. Siapa pun yang cermat mengikuti langkah politik Jokowi bisa dengan jujur melihat upayanya membangun koalisi besar adalah modal untuk membawa Indonesia lepas dari jebakan “middle-income trap”.

Persatuan Indonesia, adalah “conditio sine qua non” untuk memanfaatkan bonus demografi menjelang era keemasan di tahun 2045. Prabowo-Gibran bakal terus menggaungkan tema persatuan ini.

Komentar