Sejak 1996, PT Freeport Indonesia telah membangun Smelter di Gresik yang beroperasi pada 1998 dengan kapasitas 1 juta ton konsentrat per tahun. Oleh karena produksinya mencapai 3 juta ton per tahun, maka PT Freeport Indonesia kemudian membangun Smelter lagi di Gresik untuk menutupi kekurangan tersebut.
Mengapa bukan Papua yang dipilih sebagai tempat pembangunan Smelter tersebut? Hasil akhir dari Smelter ialah asam sulfat yang bisa dimanfaatkan oleh pabrik pupuk dan semen, di mana di Gresik telah terdapat pabrik semen dan pupuk. Selain itu, perlu dibangun pula pabrik pengolahan asam sulfat dengan kebutuhan pasokan listrik yang sangat besar, sehingga Papua “dianggap” belum siap untuk itu.
Menariknya, pada Mei 2021, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah memastikan bahwa di Papua, yaitu di Kabupaten Fakfak, akan dibangun Smelter untuk melengkapi proses pengolahan hasil tambang emas PT Freeport Indonesia. Sayangnya, janji itu hanya terucap di bibir saja. Pertanyaan yang sangat sederhana dilontarkan, Orang Papua dapat apa?
Tindakan pembangunan Smelter di Gresik tersebut membuat senator Papua Barat geram. Menurutnya, Pemerintah seharusnya lebih awal memperhatikan kehidupan ekonomi Papua sebagai “tuan rumah” dari SDA yang digali.
Komentar