Pendukung Fanatik, Bisa Jadi Tidak Waras Dan Meninggalkan Nilai-nilai Etika Dan Moral Pancasila

Oleh: Nanda Abraham

Tulisan Iyyas Subiakto yang beredar di sosmed  3 hari lalu saya baca : IYYAS SUBIAKTO KELUAR DARI PERGAULAN TOXIC MENUJU KEBENINGAN AKAL SEHAT, dengan judul KURANG JAUH MAINNYA.

Tulisan saudara Iyyas yang  mengatakan : kawan-kawan pendukung GP plus orang PDIP sendiri yang makin hari makin kayak cacing kepanasan dan menyatakan sama saja seperti kadrun dan sejenisnya.  terbaca sangat tendensius dan mengecilkan PDI Perjuangan sebagai partai yang telah  mengalami berbagai pengalaman dan rintangan sejak orde baru sampai saat ini. 

Dari pendapat jalan pikiran saudara Iyyas, saya jadi membayangkan, bagaimana sulitnya proses perjalanan kebersihan hati saudara Iyyas menuju kebeningan akal sehat.

Harusnya anda paham, kasus Gibran jadi cawapres menjadi kontroversi dimata publik, karena ini  bukan sekedar urusan hukum, tapi juga menjadi urusan politik, dimana  hukum dimanipulasi secara politik.   Urusan pilpres yang menempatkan Gibran sebagai cawapres Prabowo, dinilai oleh rakyat yang sudah mencapai kebeningan akal sehat, sebagai  suatu proses cacat konstitusi. Mengapa? karena publik menilai,  keputusan Ketua MK yang yang dilakukan  pamannya Gibran, telah melanggar etika dan moral.

Dalam suatu pengambilan keputusan hukum, seharusnya seorang ketua MK mempunyai  landasan etika dan moral serta mempertimbangkan azas kejujuran dan keadilan. Manakala keputusan diambil oleh seorang paman untuk meloloskan Gibran sebagai keponakannya, tentunya sarat dengan unsur subyektifitas.  Apalagi diketahui oleh publik, bahwa ekskutif diduga telah mengintervensi yudikatif.

Jadi sebenarnya, bukankah yang merasa cacing kepanasan adalah kelompok elit politik pendukung paslon 2, yang sesungguhnya memahami keputusan yang telah dibuat itu sebagai cacat moral hukum dan bisa berdampak,  munculnya  gelombang rakyat yang menolak kemunduran demokrasi dan rusaknya tatanan moral hukum yang telah memberikan jalan dinasti politik keluarga Jokowi ?

Sepertinya kebeningan akal sehat Iyyas subiakto sudah kena polusi politik yang belakangan ini sangat mencemari  pandangan mata dan hati, sehingga jadi buta akal.

Saudara Iyyas kehilangan pandangan,  bahwa sesungguhnya mayoritas rakyat, bangsa Indonesia ini secara kultur, masih menjaga nilai-nilai etika dan moral dalam perilakunya.

Coba bayangkan,  jika kebijakan hukum  tanpa pijakan etika dan moral, akan menjadi apa negara ini? Bisa dibayangkan juga oleh generasi muda penerus bangsa, perilaku pembuat kebijakan, yang  hanya untuk kepentingan keluarga atau kelompok elit politik tertentu, akan  merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sekalipun dengan alasan “ketetapan hukum”.  Karena (kata Anis Baswedan), Hukum itu harus berkeadilan.

Kebijakan Ketua Hakim MK Anwar Usman yang dipecat oleh Majeis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)  telah berdampak ketidak harmonisan tatanan hukum dan stabilitas tatanan politik nasional pada proses pemilu yang seharusnya berazaskan jujur dan adil.

Saudara Iyyas juga  menyebutkan,  keberanian Jokowi yang berani berseberangan dengan Megawati, karena yang dikerjakan Jokowi harus baik untuk rakyat Indonesia bukan rakyat PDIP semata.

Disini saudara  Iyyas saya amati,  semakin jauh berbalik arah dari jalan menuju kebeningan akal sehatnya.

Anak milenial juga paham, bahwa fungsi partai politik ( parpol ) terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa.

Parpol adalah wadah perjuangan sebagian rakyat dengan dasar kesepahaman  ideologi,  juga sebagai kawah candradimuka  belajar berorganisasi, belajar politik praktis, belajar hukum ketatanegaraan, masalah sosial dsb-nya.

Dalam mekanisme menentukan calon-calon pejabat publik, tentunya Ketua Umum Megawati beserta dewan pakar dan  dewan pengurus PDIP, melakukan penyaringan kader untuk memutuskan calon presiden atau  seorang pemimpin yang bisa menjadi seorang negarawan. Dan faktanya, PDIP berhasil memunculkan figur seorang Jokowi yang dikenal merakyat dan santun, yang telah berhasil melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang presiden. Namun Ketika diakhir masa periodenya, Jokowi yang diberikan mandat sebagai petugas partai, yang arti dan makna petugas partai itu adalah   untuk membawa amanah rakyat, membawa amanah konstitusi UUD 1945 dan nilai-nilai pancasila, justru menjadi antiklimax ketika penilaian rakyat banyak yang menilai  Jokowi telah mencederai bahkan  merusak nilai-nilai demokrasi. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya para tokoh pengamat politik, budayawan, agamawan, aktivis mahasiswa, youtuber dan akademisi, yang memprotes atas keprihatinan situasi dan kondisi Indonesia saat ini.

Saya menangkap aspirasi rakyat yang berharap,  Jokowi bisa memberikan ketauladanan tentang nilai-nilai etika dan moralitas politik serta bisa bersikap netral pada pemilu 2024.

Meskipun rakyat juga  cerdas dan punya logika, apakah mungkin Jokowi bersikap netral ?

Adanya berbagai isu intimidasi oknum-oknum tertentu kepada pendukung GP, membuat banyak kelompok dan tokoh-tokoh masyarakat prihatin, hingga seorang budayawan NU, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan, “kini kita tengah menghadapi satu materi dengan rasa yang berbeda, yakni materi republik dengan rasa kerajaan”.

Komentar