Membendung Politisasi Agama & Menuju Politik Yang Religius Melalui Penguatan Etika-Politik Umat Beragama

JurnalPatroliNews – Banten – Dr. Phil Suratno Muchoeri, menyatakan bahwa terdapat problem politik religius jika membincangkan interaksi politik dan agama di Indonesia.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi “Fatsoen Politik & Agama: Membendung Politisasi Agama & Menuju Politik Yang Religius Melalui Penguatan Etika-Politik Umat Beragama” yang diselenggarakan Pondok Pesantren El-Karim, Pandeglang, Banten secara hibrid, Sabtu, (27/1/2024).

Suratno Ketua The Lead Institute, Universitas Paramadina tersebut mengutip Cak Nur yang mengatakan bahwa jika korupsi tinggi, politisasi agama marak. “Sebagai mayoritas muslim, statistik pelakunya otomatis juga banyak dari kalangan Islam, sehingga akan tampak ada masalah dengan keberagamaan atau keberislaman kita.” Katanya.  

“Praktik politisasi agama seperti manipulasi ajaran agama, orientasi hanya kepada kelompok agama atau kelompok politiknya saja, kebencian, black campaign, fitnah, hoax sudah tahu dilarang agama tapi tetap dilakukan demi kepentingan politik dan kekuasaan menunjukkan adanya ambiguitas etika.” Lanjut Suratno.

“Makarimal akhlaq bisa kita terapkan dalam kontestasi pilpres 2024. Hadits Nabi Muhammad menyebutkan innama buistu liutammima makarimal akhlaq. Artinya, Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Jadi etika religius sangat penting termasuk dalam politik.” Paparnya.  

Narasumber lainnya Dr. Ahmad Suaedy, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyinggung perihal liberalisme dan modernisme. “Di barat sekalipun mengakui bahwa agama tidak lagi bisa disingkirkan dari ruang publik. Ini masalah cara pandang bukan hanya pilpres” 

Ia juga menyinggung adanya fenomena oligarki. “Tidak semua partai terlibat dalam sistem oligarki, dinasti, feodalisme dan sebagainya. Bagi saya tidak ada dasar etika yang bisa dipakai untuk mengkritik.”  

Menurutnya masalah Etika politik ini sudah lama. “Apakah ada partai yang lebih baik saya kira semua terlibat sehingga kita perlu mencari yang terbaik dari kita. Misalnya good governance yang ditawarkan barat pada kita tidak relevan, misalnya tidak ada item adil.” Terangnya.  

“Kerusakan etika publik di era pilpres tidak ada obatnya lagi, siapapun yang  jadi presidennya. Karenanya kita perlu berpikir lebih dalam dan lebih konsisten.” Tambahnya.  

“Saya tidak ragu ketika Islam masuk ke ruang publik maka bisa membangun etika publik yang lebih baik. Mistik sintesis sama dengan bhinneka tunggal ika, bagaimana cara Islam melakukan internalisasi dengan budaya nusantara sehingga tidak muncul kekerasan. Pertemuan Islam dengan Pancasila itu hasil dari ‘tabrakan’, terjadi kompromi, sikap kompromi itu harus terus menerus terjadi.” Ungkap Suaedy.

Dalam kesempatan yang sama  Dr. Yayah Khisbiyah, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta memaparkan bahwa banyak analis yang betul-betul terkejut dengan fenomena dinasti politik atau set back demokrasi. 

“Banyak analis menganggap bahwa Jokowi adalah solusi dari problem mandeknya demokrasi sejak orba, dia yang berangkat dari rakyat jelata, tapi kemudian dalam kurun waktu hampir 10 tahun kita dikejutkan dengan berbagai macam manuver yang memberangus demokrasi.” Ujar Yayah.

Komentar