Pelajar di Polman Sulbar Terpaksa Seberangi Sungai Deras Demi ke Sekolah

JurnalPatroliNews, Polewali Mandar – Sejumlah pelajar dari Desa Saragiang dan Desa Kalumammang, Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar, harus bertaruh nyawa demi menuntut ilmu ke sekolah. Sebab, untuk sampai ke sekolah mereka harus menyeberang sungai berarus deras menggunakan rakit bambu yang sudah lapuk.

Salah satu pelajar, Alfi Syahri, mengatakan ada jalan lain tanpa harus melewati sungai. Namun, menurutnya, akses jalan lain itu terlalu jauh dan harus mengeluarkan biaya tambahan.

“Ada sih jalan lain, tapi agak jauh. Harus keliling baru bisa sampai ke sekolah. Rada takut, tapi harus dilewati karena kita mau belajar,” kata Alfi, salah satu pelajar SMAN 1 Alu dari Desa Saragiang, kepada wartawan, Kamis siang (30/09/2021).

Alfi mengatakan ketika air sungai meluap, apalagi saat musim hujan, dia bersama pelajar lainnya kerap terlambat. Bahkan tidak melanjutkan perjalanan ke sekolah.

“Kalau terlalu meluap kita biasa kembali ke rumah, tidak ke sekolah, ” tuturnya.

Dia berharap pemerintah memberi perhatian dengan membangun jembatan penyeberangan. Dengan begitu, para pelajar di daerahnya bisa pergi ke sekolah tanpa melewati sungai.

“Selaku pelajar, kami berharap, semoga pemerintah bisa segera membangun, semacam jembatan yang lebih layak, bisa digunakan, supaya gampang, karena kalau air sungai meluap,rakit bisa hanyut, ” pinta Alfi.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala SMAN 1 Alu, Makhtar, mengaku prihatin dengan kondisi siswanya. Dia mengatakan kondisi itu membuat sebagian pelajar tidak maksimal mengikuti proses pembelajaran, karena sering terlambat ke sekolah.

“Memang cukup memprihatinkan ini anak-anak kita, karena dampaknya itu yang bisa kita lihat secara ril. Bahwa tidak bisa kita mengadakan pembelajaran sesuai prinsip formal, seperti jam 07:30 Wita, karena kebanyakan terkendala di situ, di penyeberangan antri, jadi kemudian kalau seumpamanya meluap air, mereka juga langsung tidak ada, khususnya mereka yang ada di seberang,” ujar Makhtar.

“Karena kadang-kadang dan keseringan rakitnya putus, sehingga memakan waktu cukup lama sehingga lancar lagi menyeberang di sini,” lanjutnya.

Belum lagi jika saat kondisi cuaca tiba-tiba memburuk. Makhtar mengaku terpaksa memulangkan muridnya lebih awal, lantaran khawatir mereka tidak bisa pulang ke kampung karena kondisi sungai yang setiap waktu bisa meluap.

“Kemudian saat sementara belajar, kalau mendung, mereka terpaksa kita pulangkan, karena mereka gelisah tidak bisa pulang ke kampungnya,” bebernya.

Sementara, salah satu warga bernama Maryam berharap pemerintah untuk segera membangun jembatan penyeberangan. Dia menyebut tidak sedikit warga yang terjatuh di dalam sungai karena rakit yang ditumpangi rusak diterjang arus.
Walau tidak menyebabkan jatuhnya korban, namun harta benda seperti sepeda motor yang ikut diseberangkan menggunakan rakit, hilang terbawa arus.

“Inilah kendalanya jalanan, maksudnya kalau air naik, hanyut rakitnya tidak bisa lagi menyeberang. Pernah ada, tidak terhitung kejadiannya, tetapi sudah pernah. Tidak sampai meninggal, motornya ikut tenggelam,” ujar Maryam.

Berdasarkan pantauan, sungai Mandar yang diseberangi warga dan pelajar memiliki lebar sekitar lima puluh meter. Sementara, rakit yang dimanfaatkan untuk menyeberangi sungai berukuran panjang sekitar tujuh meter dan lebar tiga meter.

Rakit ini terbuat dari beberapa batang bambu yang digabungkan menggunakan tali. Untuk sekali menyeberang, rakit biasanya ditumpangi beberapa pelajar termasuk beberapa unit sepeda motor.
Terkadang permukaan rakit tenggelam karena kelebihan beban, membuat sepatu yang dipakai para pelajar menjadi basah.

Karena jumlah rakit yang terbatas, warga maupun pelajar rela mengantri lama, menunggu giliran untuk menyeberangi sungai. Untuk sekali menyeberangi sungai (pulang-balik), warga maupun pelajar harus mengeluarkan biaya sebesar dua ribu rupiah.

(dtk)

Komentar