JurnalPatroliNews – Minahasa Utara,- Stenly Sendow, S.H., mengimbau pihak Kepolisian agar bersikap netral dalam menangani sengketa lahan antara masyarakat dengan PT. Ersindo, PT. Bunga Laut, dan PT. Jaya Laut di Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
“Polisi harus berada di tengah-tengah, tidak boleh memihak ke kiri maupun ke kanan. Kami tahu polisi pasti sangat memahami porsi kerjanya,” tutur Stenly.
Sejarah Sengketa Tanah
Pada tahun 1991 hingga 1995, warga negara asing keturunan Singapura bernama Lim Cheng Huat Raymond, Direktur PT. Ersindo Resort Indonesia, bersama beberapa warga Indonesia seperti Hendrik Paseky Tilaar alias Om Tell (alm.), Novi Paseky Tilaar, dan Frangky Wongkar Ui, memasuki tiga desa dengan bantuan Hukum Tua Desa Kima Bajo, Adjra Latepa.
Harga pembelian tanah ditentukan oleh Direktur PT. Ersindo Resort Indonesia melalui tiga orang tersebut, dengan variasi harga antara Rp. 550/m² (teratas) dan Rp. 150/m² (terbawah). Harga ini ditolak oleh masyarakat karena dinilai terlalu murah dibandingkan dengan hasil panen kelapa dan cengkeh yang lebih berharga. Setelah penolakan warga, Hendrik Paseky Tilaar melaporkan kepada Hukum Tua Desa Kima Bajo, yang kemudian melanjutkannya ke Pemerintah Kecamatan Wori (TRIPIKA).
Pemerintah saat itu, melalui Camat D. Joro, Kapolsek Wori A. Omo, dan DANRAMIL Alex Riung, mengimbau masyarakat untuk mendukung program pembangunan pariwisata. Namun, mereka juga menekankan bahwa jika masyarakat tetap menolak, Pemerintah Daerah mungkin akan mengambil alih tanah tersebut sesuai dengan Pasal 33 UUD 45.
Penekanan dari TRIPIKA membuat masyarakat bimbang, dan sebagian menyetujui penjualan tanah secara terpaksa. Proses pembayaran tanah dilakukan melalui Hukum Tua dengan cara panjar, tanpa pengukuran tanah yang jelas. Banyak masyarakat menandatangani blangko kosong dan kuitansi kosong saat menerima uang panjar.
Kecurangan dan Bukti-Bukti
Pembayaran tanah dari tiga desa diduga penuh dengan kecurangan oleh oknum PT. Ersindo Resort Indonesia yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Berikut beberapa bukti yang diungkapkan masyarakat:
Kasus Nahar Binsalim: Pada 30 Juni 1996 dan 13 Agustus 1996, Nahar Binsalim (alm.) memanen 600 biji kelapa dari pohon miliknya di Desa Minaesa. PT. Ersindo Resort Indonesia melaporkannya ke polisi atas tuduhan pencurian. Mahkamah Agung RI pada 16 Maret 1999 memutuskan bahwa Nahar Binsalim tidak bersalah, menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan milik PT. Ersindo Resort Indonesia.
Komentar