Bikir Geger Institusi Hukum, Ternyata Tahun 2016 Istri Djoko Tjandra Menang di MK

JurnalPatroliNews – Jakarta – Koruptor buron Djoko Tjandra membuat geger hukum karena bisa bebas berkeliaran di Jakarta dan kabur lagi ke Malaysia. Ternyata, pada 2016, istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menang.

Latar belakangnya, Djoko dilepaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan di tingkat kasasi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Namun Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Djoko dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 tahun penjara.

Oleh sebab itu, Anna mengajukan permohonan penafsiran ke MK bahwa jaksa tidak berhak PK. Anna meminta MK menafsirkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal itu berbunyi:

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Anna meminta pasal itu ditafsirkan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan PK. Siapa nyana, permohonan itu dikabulkan.

“Mengabulkan permohonan Pemohon. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo,” demikian bunyi Putusan MK yang dikutip rekan media, Jumat (17/7/2020).

MK menyatakan, hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan.

Menurut MK, ketika Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu sendiri. Pertama, pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali. Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-Undang adalah terpidana atau ahli warisnya.

“Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali,” papar MK.

Putusan MK itu membuat geger. Jaksa Agung saat itu, Prasetyo menegaskan tetap akan mengajukan PK meski hal itu sudah dilarang oleh MK. Kejaksaan berpegang pada yurisprudensi dari Mahkamah Agung (MA).

“MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara,” kata Prasetyo saat rapat Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (6/6/2016).

“Kami akan tetap ajukan PK bila dirasa perlu,” lanjut Pras, demikian ia biasa disapa.

Lama tidak terdengar, Djoko Tjandra diam-diam datang sendiri mengajukan PK ke PN Jaksel. Kejaksaan sebagai jaksa eksekutor ‘kecolongan’ ada narapidana berkeliaran bebas.

Berdasarkan Peraturan MA, terpidana wajib datang sendiri ke pengadilan. Namun upaya Djoko terendus dan terbongkarlah patgulipat yang melibatkan banyak pihak, termasuk mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo yang membuat ‘surat jalan’ agar Djoko Tjandra bisa pergi ke Pontianak.

(lk/*)

Komentar