Draf Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Banjir Masukan

JurnalPatroliNews – Jakarta, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme mengundang kritik bukan hanya dari kelompok masyarakat sipil melainkan juga Komnas HAM dan DPR.

Di antaranya soal potensi tumpang tindih aturan dan gesekan kewenangan TNI dengan institusi lain.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M Choirul Anam misalnya, mengungkapkan bahwa isi draft Perpres yang kini tengah digodok di parlemen itu memungkinkan tumpang tindih penanganan.

Menurut dia, rancangan Perpres mestinya hanya mengatur skala eskalasi serangan terorisme yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan kapan perbantuan TNI diperlukan.

“Sedangkan untuk aturan teknis perbantuannya diperlukan UU Perbantuan TNI kepada otoritas sipil untuk mengatur pengerahan kekuatan dalam konteks operasi militer selain perang,” terang Anam dalam rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (1/12).

Masukan itu kata Anam, telah disampaikan pula ke DPR yang memang telah menerima salinan draf Perpres dan telah mulai membahasnya. Ia pun meminta pembahasan DPR fokus pada pelibatan militer.

“Ini fokusnya pada penindakan semata dengan batasan yang jelas, tingkat ancaman, dan bilamana fungsi Kepolisian tidak dapat mengendalikan. Sehingga (pelibatan TNI dalam tindak terorisme) tidak meluas mulai dari penangkalan, penindakan dan pemulihan,” saran Anam.

Tak hanya kepada DPR, Anam juga mengaku telah meminta Presiden Joko Widodo menarik rancangan Perpres. Dia meminta agar Jokowi menunda pembahasan Perpres hingga ada kebijakan mengenai prinsip hukum dan norma HAM pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

“Telah meminta kepada Presiden untuk menarik Raperpres dimaksud dari DPR atau tidak melaksanakan pembahasan dan penandatangan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM,” kata dia.

Tak hanya soal penindakan, Anam juga menyinggung soal dana yang akan digunakan TNI untuk operasi penindakan terorisme seperti tertuang dalam draf Perpres.

Kata dia, mestinya dana tersebut sepenuhnya berasal dari APBN dan bukan dari pos lain, baik itu APBD maupun dana dari kementerian lain atau sejenisnya. Sebab dalam penanganan ini, TNI tidak boleh menerima dana dari pos selain pembiayaan negara.

“Sepenuhnya hanya didasarkan pada APBN untuk menjaga profesionalisme,” tukas Anam.

Lebih lanjut dia meminta pengawasan internal dan eksternal yang akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum jika sewaktu-waktu terdapat pelanggaran yang dilakukan pihak TNI ketika menjalankan tugas.

Delapan Catatan Komisi III DPR

Catatan tak hanya datang dari Komnas HAM, Komisi III DPR RI mengkritik soal kewenangan TNI dalam pelibatan penanganan aksi terorisme melalui draf Perpres tersebut.

Komisi yang membidangi hukum di DPR ini berpendapat TNI tidak dapat melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.

Catatan itu merupakan satu dari delapan poin rekomendasi yang disampaikan Komisi III DPR ke pimpinan DPR terkait rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme yang salinan drafnya diterima CNNIndonesia.com dan sudah dikonfirmasi Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa.

“Ya,” kata Desmond kepada CNNIndonesia.com saat dikonfirmasi, Selasa (1/12).

Dalam rekomendasi itu, Komisi III DPR mengingatkan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan bahwa TNI tidak berwenang melakukan pencegahan terorisme.

Pencegahan terorisme, menurut Komisi III DPR merupakan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Berikut delapan catatan Komisi III DPR soal Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme.

1. Pasal 1 ayat (1)

Terdapat dua pendapat terkait pasal ini, khususnya terkait definisi aksi terorisme. Dalam poin a tertulis, ‘Aksi Terorisme’ seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan kepolisian. Poin b, frasa ‘atau dengan eskalasi tinggi’ sebaiknya diubah menjadi ‘bereskalasi tinggi’.

Dalam keterangannya, definisi ‘aksi terorisme’ belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan Tindak Pidana Terorisme. Sehingga belum mampu menjelaskan keadaan dan situasi peran TNI, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Pasal 2 ayat (2) Tugas TNI dalam Aksi Terorisme

Terkait pasal ini, Komisi III memberikan tiga pendapat. Poin a tertulis, peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada prinsipnya hanya melakukan penindakan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b Rancangan Perpres dan berkoordinasi dengan BNPT.

Poin b, kegiatan penangkalan dapat memiliki ruang lingkup yang luas. Sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan pencegahan, yang tentu berbeda pendekatan dengan pola militer atau penindakan. Terakhir, poin c, dalam hal ini perlu pengaturan yang lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas, bahwa telah timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer yakni sudah di luar kemampuan dari kepolisian.

3. Pasal 3

Komisi III memberikan tiga pendapat, poin a tertulis, kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas. Karena, penyelidikan bukan tugas pokok TNI. Poin b, kegiatan operasi informasi harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut, karena harus disesuaikan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan peraturan perundang-undangan.

Poin c, frasa ‘kegiatan dan/atau operasi lainnya’ dalam lingkup UU Terorisme ini juga menimbulkan multitafsir dan perlu mendapatkan pengaturan yang lebih tegas mengenai bentuk dan batasannya.

Dalam pendapat terkait Pasal 3 ini, Komisi III ingin menyampaikan bahwa Perpres tersebut berpotensi terjadinya persinggungan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain., yakni aparat penegak hukum dan intelijen. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan hukum.

4. Pasal 5

Pendapat Komisi III soal pasal ini tertulis, pengaturan dan kegiatan dan/atau operasi penangkalan yang dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, ‘yang seharusnya mendapat perintah dari Presiden dan mendapatkan persetujuan dari DPR’.

5. Pasal 6

Tertulis, operasi khusus dalam hal ini merupakan operasi yang bersifat sementara (temporer), bukan permanen. Sehingga pengaturannya harus mendapat penegasan bahwa operasi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak membutuhkan peningkatan menjadi kegiatan rutin dan sejenisnya atau batasan waktu.

6. Pasal 7

Komisi III memberikan dua pendapat ihwal pasal ini, poin a, sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI tidak berwenang melakukan pencegahan terorisme. Poin b, pencegahan tindak pidana terorisme merupakan kewenangan BNPT.

7. Pasal 8 sampai 11 terkait Bab Penindakan

Poin a, perlu penegasan kembali bahwa tindakan ‘penindakan’ terhadap aksi terorisme merupakan perintah Presiden dan mendapatkan persetujuan dari DPR. Selanjutnya poin b, pengerahan kekuatan TNI harus berdasarkan Keputusan Politik (Pasal 3, Pasal 7 ayat (3), dan Pasal 17 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI).

8. Pasal 14

Tertulis, anggaran untuk mengatasi aksi terorisme yang dilakukan TNI sesuai UU 34 Tahun 2004 hanya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

(cnn)

Komentar