Mantan Buronan Debt Collector Kini Jadi Miliarder, Ternyata Begini Caranya

JurnalPatroliNews – Bandung,– Masa kelam beberapa tahun lalu hingga kini masih membekas dalam benak Adang Muhidin. Pria berusia 46 tahun itu terlilit utang miliaran rupiah hingga membuatnya jadi ‘buronan’ debt collector.

Kini masa suram itu sudah lewat bagi Adang berkat bambu. Ia menyulap pohon bambu menjadi beragam produk yang menghasilkan keuntungan yang besar baginya. Omzetnya pun ratusan juta setiap bulannya.

Di sebuah tempat sederhana, tepatnya di Jalan Cimareme, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terlihat seorang pria gondrong yang tengah sibuk dengan bambu-bambunya.

Bersama rekan-rekannya, Adang terus berkreativitas membuat kerajinan dari bambu. Seperti tumbler, alat makan, cangkir, maket rumah dan sebagainya yang memiliki daya jual.

Jalan Adang dalam menjalani usaha produk bambunya cukup berliku. Sebelum terjun ke bidang usaha kerajinan bambu, ia sempat bergerak menjalankan usaha bengkel bubut dan penjualan pulsa semua operator.

Tahun 2009, semua bisnisnya hancur. Khususnya usaha pulsanya. Di mana sebelumnya perputaran uangnya bisa mencapai ratusan juta setiap hari, namun hilang dalam sekejap.

Adang pun mulai terlilit utang yang jumlahnya miliaran. Sejak saat itu ia dan keluarganya mulai ‘dihantui’ debt colletor. Kondisi tersebut membuatnya sempat ingin bunuh diri.

“Wah stress berat pokoknya, sampe mau bunuh diri. Tadinya saya mau ke Jerman jadi imigran gelap juga,” kata Adang.

Namu itu bukan pilihan. Adang berpikir keras untuk membangun kembali usahanya, disaat kondisi keuangannya benar-benar dalam kondisi sekarat. Ia selalu berpikir ingin menjadi atasan, sehingga ogah bekerja di perusahaan orang lain.

Adang pun mulai mengenal bambu sejak tahun 2011. Ia berpikir dari bahan berdasar bambu bisa dijadikan produk-produk yang kreatif. Ketika itu ia mulai belajar dari internet.

“Pertama kali waktu itu bikin alat musik biola,” ujar Adang kepada rekan media, Selasa (2/3/2021).

Setahun kemudian bakat Adang mulai tercium, sehingga ia diikusertakan dalam pameran Java Jazz Festival oleh Kementerian Perdagangan. Dari sana, jalan komersil produknya mulai terbuka.

Adang disantroni warga negara Jepang dan menanyakan biola yang berbahan baku dari bambu. Namun saat itu Adang belum percaya diri. Namun setahun kemudian orang Jepang tersebut menghubunginya lagi.

“Tahun 2013 waktu orang Jepang datang ka Bandung sengaja beli biola harga Rp 3 juta,” ujar Adang.

Setelah itu ia mulai serius menjadikan usaha produksi berbahan dasar bambu hingga membentuk Indonesia Bamboo Community (IBC), dengan harapan karnyanya bisa menembus pasar internasional.

Ia pun bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan riset. Setahun kemudian usahanya pun mulai berkembang dengan berbagai kerajinan unik berbahan dasar bambu.

Dari mulai biola, gitar, bass hingga drum. Produksnya langsung masuk pasar internasional dan ikut dalam bergbagai pameran internaisonal. Negara-negara yang dari awal menggaetnya adalah Jepang, Malayasia hingga Rumania.

Pundi-pundi rupiah yang didapatkannya pun mulai naik drastis. Omzet terbesar yang didapatnya mencapai Rp 250 juta ketika menerima order dari Malayasia. Sementara omzet rata-rata kisaran Rp 50-100 juta per bulan.

“Saya juga kan produksi set alat makan seperti sendok, garpu harganya Rp 40 ribu. Termasal drum Rp 35 juta,” terang Adang.

Bisnis produksi kerajinan bambunya mulai terganggu setelah pandemi Covid-19 mewabah. Semua orderan yang disepakati dengan berbagai negara akhirnya di-cancel akibat kebijakan lockdown.

“5 bulan pertama stress, semua orderan di cancel dan dipending,” ucapnya.

Mulai September 2020, usahanya berangsur membaik setelah Adang mengganti strategi usahanya. Ia mulai memproduksi kerajinan lain selain alat musik seperti tumbler hingga maket rumah.

“Mulai September kan banyak acara acara online, mereka butuh merchandise. Akhirnya kita tawarkan tumbler, alat makan. Mulai banyak permintaan dari dinas, BUMN,” ujarnya.

Omzet yang didapat pun fantastis. Dimana dalam sebulan Adang bisa meraup Rp 100 juta. Untuk sementara ini ia mengejar produk dengan harga minimalis, yang bisa dijangkau dengan harga miring.

Sejauh ini kerajinan teranyarnya itu sudah menembus berbagai daerah di Indonesia. Seperti Jakarta, Jawa, Bali, Lampung, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah hingga Kalimantan Barat.

“Paling laku memang tumbler buat souvenir. Maket rumah kurang. Tumbler dijual Rp 120-180 ribu. Kita ngejar pasar lokal,” pungkasnya.

(*/lk)

Komentar