Ketua PHDI Buleleng, Terkait Buda Kliwon Sinta: Memuja Siwa sebagai Guru Utama Alam Semesta

JurnalPatroliNews, Buleleng – Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Buleleng Dr. I Gde Made Metera, M Si mengungkapkan, ring Buda Kliwon Sinta – Rabu (03/02) momen Perayaan Pagerwesi Pemujaan Siwa sebagai Pramesti Guru dan mengajak warga Hindu untuk hormat serta taat kepada Catur Guru.

Melalui Perayaan Pagerwesi, Ketua PHDI Kabupaten Buleleng, Gede Made Metera menambahkan, siapa itu Siwa. Ia juga menambahkan, rasa hormat dan taat tidak saja kepada Catur Guru, tetapi juga kepada Sadhaka sebagai Adiguruloka.

Menurut Dr. I Gde Made Metera, M.Si yang juga menjabat Rektor Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja, bahwa ajaran dan praktik Hindu di Bali selalu ada yang perlu digali dan dipelajari untuk dipahami dan diterapkan dalam kehidupan.

Setelah merayakan Hari Saraswati, Hari Pemujaan Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan yang dipercaya turun ke dunia pada hari Sabtu Umanis Watugunung.

Dr. Gde Made Metera menyatakan, umat Hindu kemudian merayakan Hari Pagerwesi, pada hari Buda Kliwon Sinta. Menurut manuskrip kuno Bali “Sundarigama”, Hari Pagerwesi merupakan hari pemujaan Dewa Siwa sebagai Hyang Pramesti Guru, guru sejati. Siapa sebenarnya Siwa, dan siapa yang disebut guru?

Menurut ajaran Siwasidanta Dresta Bali, Dewa Siwa adalah Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa yang menguasai semua, sembilan penjuru mata angin, yang di Bali disebut Dewata Nawa Sanga.

Dewa Siwa yang menguasai arah Timur/Purwa disebut Iswara; Dewa Siwa yang menguasai arah Tenggara/Gneyan disebut Mahesora; Dewa Siwa yang menguasai arah Selatan/Daksina disebut Brahma; Dewa Siwa yang menguasai arah Barat Daya/Nairiti disebut Rudra; Dewa Siwa yang menguasai arah Barat/Pascima disebut Mahadewa; Dewa Siwa yang menguasai arah Barat Laut/Wayabhya disebut Sangkara; Dewa Siwa Yang menguasai arah Utara/Uttara disebut Wisnu; Dew Siwa yang menguasai arah Timur Laut/Ersanya disebut Sambu; dan Dewa Siwa penguasa di Tengah/Madya disebut Siwa. Nama Dewa Siwa sebagai penguasa semua arah mata angin merupakan sebutan untuk Siwa secara horisontal.

Nama Dewa Siwa secara vertikal adalah Siwatman, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Siwatman adalah Siwa yang sudah kena pengaruh maya, Siwatman ada pada semua makhluk hidup. Sada Siwa adalah Siwa yang sudah menunjukkan kesaktiannya. Oleh karena itu Sada Siwa sudah bisa disimbolkan, misalnya dibuat patung sebagai simbol Dewa Siwa. Paramasiwa adalah Siwa yang tidak terpikirkan. Oleh karena itu tidak dapat disimbolkan.

Dalam ajaran Hindu dresta Bali orang yang sudah menempuh Dwijati atau Diksa juga disebut Siwa. Orang yang sudah menempuh Diksa adalah orang yang sudah menempuh Catur Asrama yaitu Brahmacari, Grehasta, Wanaprasta, dan Biksuka. Dalam rangka memasuki tahap kehidupan Biksuka itulah dilakukan Diksa. Orang yang menempuh Diksa juga adalah orang yang melaksanakan ajaran ke-Siwa-an “Wraspati Tatwa” yaitu tentang tujuh perbuatan Dharma yang meliputi; Sila, Yajna, Tapa, Dana, Prawidya, Diksa, dan Yoga.

Orang yang sudah menempuh Diksa disebut juga Diksita, Brahmana, dan Sadhaka. Parinama dari Diksita menurut Ketetapan Mahasaba PHDI II Tahun 1968 adalah Rsi, Empu (Ida Pandita Empu), Pedanda, Danghyang, Dukuh, Bagawan. Dari parinama itu, Diksita menurut Dresta di Bali mengambil parinama sesuai dengan soroh atau wangsa. Diksita dari Wangsa Brahmana mengambil parinama Ida Pedanda. Diksita dari soroh Arya mengambil parinama Bagawan. Diksita dari soroh Pasek memakai parinama Ida Pandita Empu. Apapun parinama yang dipakai semuanya adalah Brahmana yang memiliki status sama yang juga disebut Siwa, terutama pada saat memakai Bawa atau Upakarana.

Diksita juga disebut Sadhaka. Siwa Sidanta Dresta Bali, ada tiga paham atau gegelaran yaitu: Sadhaka yang menempuh Diksa menurut gegelaran atau paham Siwa disebut Sadhaka Siwa; Sadhaka yang menempuh Diksa menurut gegelaran atau paham Budha Sogata disebut Sadhaka Budha Sogata; dan Sadhaka yang menempuh Diksa dengan gegelaran atau paham Bujangga Waisnawa disebut Sadhaka Bujangga Waisnawa. Tiga Sadhaka itu disebut Sang Katrini Katon. Oleh karena ada tiga paham atau gegelaran, maka kemudian dikenal dengan Tri Sadhaka. Sebutan Tri Sadhaka itu tidak ada kaitannya dengan soroh atau wangsa, artinya soroh atau wangsa apapun bisa mempelajari, menganut dan kemudian menempuh Diksa sesuai paham atau gegelaran itu.

Diksita, Sadhaka, Brahmana itu, sesuai ajaran Sarasamuscaya memiliki empat ciri yang menjadi kompetensinya. Pertama, Sang Satya Wadi yaitu orang yang jujur selalu mengatakan kebenaran. Biarpun langit runtuh tetap teguh mengatakan kebenaran.

Kedua, Sang Apta, sebagai konsekuensi dari sebagai orang jujur dan selalu mengatakan kebenaran maka menjadi orang yang dapat dipercaya.

Ketiga, Sang Patirthan, orang yang memiliki kemampuan membuat Tirtha atau air suci yang dapat membersihkan, menyucikan segala yang leteh, cemer. Sebagai Sang Patirthan maka menjadi tempat untuk menyucikan diri bagi orang yang merasa leteh, merasa cemer.

Keempat, sang Panadahan Upadesa, orang yang mampu memberikan pendidikan keagamaan Hindu, moral dan etika. Tempat orang bertanya untuk mengatasi persoalan hidup. Dalam kompetensi sebagai Sang Panadahan Upadesa disebut juga Adiguruloka, guru utama di masyarakat.

Ajaran Hindu Dresta Bali juga mengenal Catur Guru yang patut ditaati. Pertama, Guru Rupaka, orang yang melahirkan, merawat, dan membesarkan diri kita patut dihormati dan ditaati petuahnya.

Kedua, Guru Pengajian, pengajar dan pendidik di lembaga pendidikan patut dihormati, dihargai, dan diikuti ajarannya.

Ketiga, Guru Wisesa, pemerintah yang sah patut dihormati dan ditaati peraturan dan kebijakannya.

Keempat, Guru Swadiaya, Ida Hyang Widhi sebagai kausa prima patut disembah.

Selain Catur Guru itu ada Diksita, Brahmana, Sadhaka yaitu orang yang sudah menempuh Diksa dari soroh atau wangsa apapun asal-usulnya, memiliki kompetensi sebagai Adiguruloka patut sebagai tempat untuk belajar.

Perayaan Hari Pagerwesi pada hari Rabu Kliwon Sinta sebagai pemujaan Siwa Sang Pramesti Guru, sesungguhnya bukan hanya perayaan ritual. Tetapi sebagai perayaan yang seharusnya selalu mengingatkan kita penganut Hindu, penganut Siwa Sidanta Dresta Bali untuk selalu belajar meningkatkan kapasitas diri, hormat, taat kepada ajaran para guru, yaitu Catur Guru dan Diksita, Brahmana, Sadhaka.

“Sebaliknya para guru agar melaksanakan fungsi sebagai guru supaya mendapat rasa hormat dan ditaati oleh siswa,” jelas Dr. I Gde Made Metera, M.Si.

(TiR).-

Komentar