Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Menteri ESDM Buka-bukaan Soal Skema Subsidi LPG – Listrik 2022

JurnalPatroliNews – Jakarta- Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama dengan pemerintah sepakat menargetkan subsidi energi akan disalurkan secara tertutup mulai 2022. Pasalnya, subsidi energi selama ini dinilai tidak tepat sasaran.

Mengenai rencana ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun angkat bicara. Dia menegaskan, pemerintah memang mengusulkan perubahan skema penyaluran subsidi, terutama subsidi LPG menjadi skema non tunai terintegrasi dengan bantuan sosial ke masyarakat, sehingga tak lagi subsidi kepada komoditas atau tabung LPG.

“Perubahan subsidi dari barang ke keluarga yang berhak dengan non tunai terintegrasi dengan bantuan sosial, ini usulan yang ada,” katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (02/06/2021).

Dia pun menegaskan pengawasan untuk subsidi harus diperkuat. Menurutnya, saat ini tengah dikaji agar Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dapat sekaligus melaksanakan pengawasan untuk penyaluran LPG, tak hanya BBM dan gas pipa.

Lebih lanjut dia menyampaikan, subsidi LPG 3 kg tetap akan diberikan untuk rumah tangga, usaha mikro, petani, dan nelayan.

Namun masalahnya, lanjutnya, masih ada persoalan dalam hal akurasi data penerima subsidi. Oleh karena itu, menurutnya Kementerian ESDM bakal melakukan koordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga Kementerian Sosial (Kemensos).

“DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) baru akan ditetapkan tiap bulan, akomodasi dinamika soal masyarakat. Kami sangat dukung perbaikan DTKS untuk basis data bantuan sosial dan subsidi energi,” jelasnya.

Untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pihaknya mengusulkan volume LPG 3 kg pada tahun depan mencapai 7,4-7,5 juta metrik ton (MT), relatif hampir sama dari target di APBN 2021 yang ditetapkan sebesar 7,5 juta MT.

Adapun realisasi LPG 3 kg sampai Mei 2021 sebesar 2,96 juta MT. Sementara sampai dengan akhir tahun 2021 diproyeksikan sebesar 7,15 juta MT, lebih rendah dari target di dalam APBN.

Pandemi Mengubah Data Penerima Subsidi Listrik

Subsidi listrik tahun depan diusulkan sebesar Rp 61,83 triliun, naik jika dibandingkan dengan anggaran subsidi listrik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp 59,20 triliun.

Agar penyaluran subsidi listrik juga lebih tepat sasaran, maka menurutnya juga diperlukan penyempurnaan data penerima subsidi listrik. Untuk subsidi listrik, imbuhnya, sudah ada DTKS yang sudah diverifikasi. Namun, pemutakhiran data menurutnya akan selalu dilakukan.

Dia mengatakan, bila data golongan pelanggan 450 Volt Ampere (VA) dan 900 VA dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sudah dipilah, maka subsidi listrik bisa turun menjadi Rp 39,5 triliun.

“Terjadinya pandemi menimbulkan perubahan status (status ekonomi masyarakat). Kami koordinasi dengan kementerian terkait, kami tetap mengacu data Kemensos, data DTKS,” ucapnya.

Arifin mengatakan, dengan penyempurnaan data penerima subsidi, maka diharapkan akan berdampak kepada penghematan subsidi yang terus membesar tiap tahunnya.

“Tujuannya, listrik ini bisa dipakai tepat sasaran. Bisa juga mendapat manfaat penghematan subsidi yang tiap tahun membesar,” tuturnya.

Beberapa faktor penyebab subsidi listrik yang kian membengkak setiap tahunnya di antaranya yaitu faktor eksternal, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan harga batu bara. Namun, untuk batu bara, meski harganya melonjak tinggi, namun sudah tertolong dengan adanya kebijakan harga batu bara khusus di dalam negeri.

Seperti diketahui, harga batu bara untuk penjualan di dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) dibatasi maksimal US$ 70 per ton. Bila harga batu bara acuan di atas US$ 70 per barel, maka harga batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, seperti untuk pembangkit listrik tetap dibatasi paling tinggi US$ 70 per ton.

“Batu bara harganya sudah tembus di atas US$ 100. Untungnya, untuk dalam negeri sudah dipatok sesuai dengan DMO,” tuturnya.

Hingga April 2021, menurutnya subsidi listrik telah mencapai Rp 22,1 triliun. Hingga akhir tahun diperkirakan outlook subsidi bisa mencapai Rp 59,26 triliun, naik tipis dari APBN 2021 yang sebesar Rp 59,20 triliun. Adapun asumsi subsidi listrik pada 2021 ini dengan asumsi nilai tukar Rp 14.600 per US$, ICP US$ 45 per barel, dan biaya pokok penyediaan listrik Rp 1.334,44 per kWh, dan penjualan listrik mencapai 266,47 Tera Watt hour (TWh).

Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan subsidi energi tertutup yang paling siap diterapkan adalah di sektor kelistrikan.

Hal ini dikarenakan penggunanya sudah dikelompokkan berdasarkan golongan-golongan pelanggan tertentu dengan jelas dan sistemnya pun sudah cukup mapan.

“Satu-satunya subsidi energi yang bisa lebih siap untuk diterapkan tertutup adalah subsidi listrik karena penggunanya telah dikelompokkan berdasarkan golongan-golongan tertentu dengan jelas dalam sistem yang sudah cukup established,” ungkapnya kepada rekan media, beberapa waktu lalu.

(*/lk)

Komentar