JAM-Pidum Bahas Transformasi Paradigma Hukum Restoratif di Universitas Borobudur

Kemudian, JAM-Pidum menambahkan transformasi sistem penuntutan dan peningkatan akses terhadap keadilan juga menjadi prioritas utama, di mana pemamfaatan kemajuan teknologi informasi mendukung dalam penegakan hukum modern khususnya transformasi penuntutan serta memainkan peran penting dalam mendukung pengawasan terhadap proses penegakan hukum.

“Perubahan paradigma penerapan dan penegakan hukum modern, efisien, terpadu salah satunya dilaksanakan dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, korektif, rehabilitatif atau dikenal dengan Restoratif Justice (RJ) atas dasar pemulihan keadaan semula, pertama kali melakukan tindak pidana (the first offender) serta telah ada perdamaian, sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti Kakek Sarmin dan Nenek Minah. Tak hanya itu, pendekatan keadilan restoratif ini disisi lain juga dapat menghemat keuangan negara,” tutur JAM-Pidum.

Demikian juga dalam KUHP 2023 terkait perubahan paradigma penegakan hukum, JAM-Pidum juga menegaskan bahwa hal itu telah diakomodir dengan adanya alternatif pemidanaan berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang lebih bersifat restoratif, korektif dan rehabilitatifm yakni berupa pencegahan, pembinaan, pembimbingan, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, menumbuhkan rasa penyesalan dan rasa bersalah dari pelaku tindak pidana.

“Visi besar kita adalah menciptakan sistem hukum yang tidak hanya modern dan efisien, tetapi juga inklusif dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dengan lebih mudah dan transparan Melalui transformasi ini, kita berharap hukum benar-benar dapat menjadi pelindung bagi masyarakat, bahkan menjadi instrumen yang mendukung kesejahteraan masyarakat (social welfare),” jelas JAM-Pidum.

Tak hanya itu, JAM-Pidum juga menekankan mengenai pentingnya sinkronisasi antara legal substance, legal structure dan legal culture dalam penegakan hukum di Indonesia. Sinkronisasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa setiap elemen dalam sistem hukum memiliki pemahaman yang sama mengenai aturan yang berlaku dan prinsip-prinsip yang mendasari tindakan mereka.

Hal ini akan menciptakan keselarasan dalam penegakan hukum, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, memitigasi perbedaan pemahaman atau ketidakjelasan dalam pelaksanaan tugas.

“Sinkronisasi dan kolaborasi menjadi kunci untuk menciptakan penegakan hukum yang harmonis dan efektif serta bernilai keadilan. Dengan sinkronisasi dan kolaborasi yang baik, kita dapat menghindari tindakan-tindakan yang acapkali merugikan masyarakat dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” kata JAM-Pidum menambahkan.

Di akhir paparannya, JAM-Pidum mengajak seluruh peserta Studium Generale, yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa, untuk mendukung proses penegakan hukum yang humanis, berdasarkan paradigma restoratif, korektif dan rehabilitatif.

Menurutnya, penerapan paradigma baru dalam penegakan hukum ini tidak hanya akan membawa manfaat bagi Indonesia saat ini, tetapi juga akan menjadi pondasi yang kuat dalam mencapai Indonesia Emas 2045.

“Kita semua memiliki peran dalam mewujudkan cita-cita besar bangsa ini. Dengan paradigma baru ini, saya yakin sistem hukum kita akan menjadi lebih kuat, lebih adil, dan lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.

Acara Studium Generale yang dihadiri sebanyak 100 orang peserta program pascasarjana ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang berlangsung dinamis. Para peserta memberikan berbagai pertanyaan dan pandangan mereka terkait materi yang disampaikan dengan antusiasi, khususnya terhadap isu-isu penting dalam penegakan hukum di Indonesia.

Komentar