Kuasa Hukum: Ada Upaya Bebaskan Sambo Dengan Tuduhan Pelecehan Seksual?

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Kuasa hukum Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo dinilai gencar membangun tuduhan adanya pelecehan seksual yang dilakukan almarhum Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri di rumah Magelang, Jawa Tengah. Menurut salah seorang dari tim kuasa hukum keluarga Josua, Johanes Raharjo, tuduhan pelecehan seksual terhadap Yosua takkan membebaskan Sambo dan Putri dari jeratan pasal pembunuhan berencana. 

“Saya ingin mengingatkan kembali ketika Ibu PC (Putri Candrawathi) membuat laporan polisi di Polres Metro Jakarta Selatan tanggal 9 Juli 2022 dengan laporan polisi Nomor LP/B/1630/VII/2022/SPKT/POLRES METRO Jaksel/POLDA METRO JAYA atas dugaan kekerasan seksual secara fisik sebagaimana diatur dalam pasal 289 KUHP dan/atau Pasal 335 KUHP dan/atau pasal 4 jo pasal 6 UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diduga dilakukan oleh Nofriansah Yosua,” papar Johanes kepada wartawan, Minggu (20/11). 

“Akan tetapi laporan tersebut telah dihentikan penyidikannya berdasarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) tanggal 22 Agustus 2022,” imbuhnya. 

Dengan adanya SP3 tersebut, kata Johanes, pihaknya menduga kuat bahwa pengaduan yang dilakukan oleh PC di Polres Metro Jakarta Selatan adalah palsu. 

“Karenanya kami tim kuasa hukum dari keluarga almarhum Yosua melaporkan balik ke Bareskrim Mabes Polri tanggal 26 Agustus 2022 dengan Nomor Laporan LP/B/0483/VIII/2022/SPKT/Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana pengaduan palsu dan/atau persangkaan palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 KUHP dan/atau Pasal 318 KUHP dengan terlapor FS, Ibu PC, Briptu MG,” papar dia. 

Johanes menegaskan, dalam persidangan pidana, yang jadi pijakan majelis hakim untuk memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan adalah tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU). Sementara dalam kasus tewasnya Yosua, kata dia Sambo dan Putri didakwa JPU melakukan pidana pembunuhan berencana yakni Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 338 KUHP.

“Sehingga yang harus dibuktikan di persidangan adalah unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dalam surat dakwaan, yaitu unsur-unsur tindak pidana perampasan nyawa dengan perencana Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 338 KUHP,” jelas Johanes.

Menurut Johanes, terbukti atau tidaknya Sambo dan Putri melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan, tergantung sepenuhnya pada terbukti atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 338 KUHP.

“Bukan tergantung pada pembuktian ada tidaknya tindak pidana dugaan pelecehan seksual yang dituduhkan terhadap korban perampasan nyawa yaitu almarhum Josua yang sudah meninggal,” tegasnya.

Sehingga, kata Johanes, pembelaan yang dilakukan pihak Sambo dan Putri melalui dibangunnya opini adanya dugaan tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh Yosua, adalah pembelaan yang sia-sia.  

“Pembelaan yang tidak akan dapat membebaskan terdakwa FS maupun PC dari ancaman pidana pasal 340, subsider pasal 338 KUHP. Jika Terdakwa FS dan PC ingin mendapat keringanan hukuman, satu-satunya cara adalah memberi keterangan dalam persidangan dengan sejujur-jujurnya mengenai apa yang dia alami, dia lihat, dia dengar sendiri, jangan merekayasa fakta-fakta tidak benar,” papar Johanes. 

“Hanya kejujuran sejati yang tulus yang dapat meringankan hukuman para terdakwa. Namun, jika penasihat hukum PC maupun FS memang memiliki alasan tersendiri dalam melakukan pembelaannya, itu haknya penasihat hukum,” imbuhnya.
 
Johanes memandang, apabila memang benar Putri merasa sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan Yosua di Magelang, dan ia ingin mendapatkan hak perlindungan hukum selaku korban sesuai UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pasal 66 ayat 1, seharusnya Putri melaporkan peristiwa itu kepada polisi. Ini sesuai Pasal 66 ayat 1 UU TPKS, yang menyebut bahwa penanganan, perlindungan, pemulihan terhadap korban diperoleh saat korban atau keluarga korban melapor kepada aparat penegak hukum. 

“Sehingga menurut saya sesuai penjelasan Pasal 66 ayat 1 UU TPKS, maka sepanjang PC yang merasa sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual tidak melapor ke aparat penegak hukum, maka konsekuensinya ibu PC tidak berhak mendapatkan hak penanganan, perlindungan hukum sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual,” tandas Johanes.

(askara)

Komentar