Mengulik RUU Perampasan Aset, Pejabat yang Miliki Harta Tak Wajar Bisa Disita

JurnalPatroliNews – Jakarta – Sejak 2015 isu RUU Perampasan Aset sudah menjadi wacana. Dan sekian tahun berlalu, RUU Perampasan Aset masih juga menjadi wacana, tak pernah ada pembahasan di DPR.

“DPR dituntut mengesahkan RUU, tapi pemerintah belum pernah kirim RUU ke DPR,” jelas praktisi hukum Febri Diansyah, Minggu (9/4).

Febri secara khusus membahas naskah akademik RUU Perampasan Aset. Kata Febri, naskah ini sudah ada sejak 2015, tapi tak kunjung dirampungkan dan diajukan ke DPR.

“Secara umum, ada beberapa pengaturan yang masih belum konsisten di draf RUU tersebut. Semoga dalam proses harmonisasi bisa diperbaiki dan Presiden segera mengirim NA (naskah akademik) & RUU Perampasan Aset ke DPR. Agar pembahasan konkret bisa dikawal. Bukan hanya jadi isu politik saja,” ujar Febri.

Febri menguraikan pembahasannya dalam akun twitternya @febridiansyah. Yang menarik, kata dia, RUU Perampasan Aset (RUU-PA) ini bukan hanya untuk merampas aset hasil korupsi, tapi semua aset terkait tindak pidana dengan nilai lebih besar dari Rp 100 juta dan ancaman pidana di atas 4 tahun.

“Sederhananya, Penyidik/JPU yang menemukan ada aset tindak pidana, mereka dapat memblokir/menyita aset tersebut. Kemudian mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan perdata,” jelas Febri.

Nah, khusus yang soal harta pejabat tak wajar, lanjut Febri, di Pasal 2 RUU di huruf K, disebutkan aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya maka dapat dirampas asetnya.

“Tapi dugaan saya yang akan jadi perdebatan alot adalah huruf k: Aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak bisa dibuktikan asal usul perolehan yang sah. Mirip ya dengan konsep iliicit enrichment,” beber Febri.

Komentar