Negara Wajib Menjunjung Tinggi HAM Yang Ada di Papua,

Tanggapan Pemerhati HAM di Papua, Soal Hari HAM Sedunia ke 72 Tahun

Jurnalpatrolinews – Jayapura : 10 Desember merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang diperingati setiap tahun oleh seluruh warga negara di setiap dunia, salah satunya di Papua. Terutama sebagai momentum menyuarakan berbagai kasus dan masalah yang berkaitan dengan HAM. Seperti apa saja tanggapan pemerhati HAM Hari HAM Sedunia di Papua?

“Jika kebebasan berbicara diambil. Maka bodoh dan diam kita mungkin akan membawa seperti domba ke pembantaian”. Demikian kata Presiden Amerika Serikat Pertama, George Washington ini pantas digunakan untuk mengenang peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang di peringati setiap tahunnya pada tanggal 10 Desember.

Setiap tahun di Papua selalu memperingati hari HAM sedunia untuk mengenang berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi, baik peristiwa pelanggaran HAM masa lalu sampai pelanggaran HAM yang baru-baru ini terjadi. Tahun 2020 ini merupakan peringatan hari HAM Sedunia ke 72 tahun.

Berbagai pemerhati tentang HAM di Papua selalu mengungkapkan sejumlah hal terkait dengan HAM yang ada di Papua. Bagi mereka HAM merupakan sesuatu yang telah ada sejak manusia lahir, sehingga harus dijaga dan dilindungi kebebasannya. Setiap orang harus menghargai HAM yang ada di masing-masing manusia sejak dilahirkan di bumi.

Salah satunya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan Papua Barat yang menilai bahwa HAM merupakan suatu hal yang dilindungi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga wajib untuk mendapatkan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dengan demikian negara dalam hal ini Presiden, Gubernur Papua dan Papua Barat dan Bupati dan Walikota yang ada di tanah Papua harus dapat mengimplementasi dan menjalankan prinsip-prinsip HAM yang telah tergantung dalam UU HAM kepada seluruha warga masyarakat yang ada di Papua dan Papua Barat.

“Pada prinsipnya, Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum adalah melindungi hak asasi warga negara. Oleh karena itu, negara harus menjunjung tinggi HAM yang ada di Indonesia, khususnya di Papua,” kata Direktur LBH Papua dan Papua Barat, Emanuel Gobay, S.H, M.H.

LBH Papua dan Papua Barat melihat pada tahun 2020 ini telah banyak terjadi pelanggaran HAM, baik sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan dugaan pelanggaran HAM berat.

Salah satunya adalah pembungkaman ruang demokrasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang hendak memperjuangkan anti rasisme, pembebasan tapol Papua, penolakan UU Ominus Law, dan penolakan UU Otsus menggunakan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomir 9 tahun 1998.

Pembungkaman terhadap ruang-ruang demokrasi, terutama Penyampaikan pendapat di muka umum yang terjadi akhir-akhir ini di Papua, sebenarnya merupakan bentuk dari pembatasan kebebasan HAM yang telah terkandung dalam pembukaan UUD 1945.

“Kesimpulannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Papua tidak mampu melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi hak konstitusional dan hak asasi masyarakat sipil Papua dalam rangka memperingati HAM ke 72 di tanah Papua,” ucap Gobay.

Selain itu, pemerhati HAM dari seperti ratusan Pastor-Pastor Se-Tanah Papua yang melihat masih terjadi pembungkaman dan penangkapan terhadap ruang demokrasi yang ada di tanah Papua. Masih terjadi pembungkaman terhadap penyampaikan aspirasi yang dilakukan oleh warga masyarakat di Papua, sebut saja seperti pembungkaman terhadap aksi penolakan Otsus jilid II yang akhir-akhir ini terjadi di Papua.

Selain itu, penangkapan terhadap para anggota MRP merupakan bagian dari pembungkaman terhadap ruang demokrasi. Padahal anggota MRP merupakan representatif kultur atau budaya orang asli Papua dan diatur secara sah dalam undang-undang Otsus tahun 2001.

Berbagai penembakan yang terjadi akhir-akhir ini seperti penembakan terhadap sejumlah tokoh agama, seperti Pendeta Yeremia Zanambani, Pewarta Muda Katolik, Agustinus Duwitau, Pewarta muda Katolik, Rufinus Tigau dan pelajar Atanius Murib dan Maluk Murib.

Berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua selama ini, maka para Pastor Se-Papua menyerukan, untuk tetap menjaga dan merawat kedamaian di Papua dengan cara melakukan pendekatan dialog antara kedua belah pihak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, terutama kasus-kasus pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua.

“Kami, para Pastor se-Papua sepakat dan dengan tegas menawarkan pendekatan dialog. Pendekatan inilah yang menjadi kebijakan baru dan bermartabat untuk membangun tanah Papua yang stabil, adil dan damai serta sejahtera,” tegas Pastor John Bunai, Pr bersama para Pastor. (cepos online)

Komentar