Berikut ini rincian dari risiko penjaminan tersebut:
1. Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) 1 memiliki risiko fiskal karena ada risiko yang memengaruhi PT PLN memenuhi kewajibannya kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain berupa komitmen subsidi dari Pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta
kekurangan pasokan batubara.
2. Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) 2 memiliki risiko dari sisi pemenuhan kewajiban PT PLN kepada Independent Power Producer (IPP), antara lain kebijakan tarif dan subsidi, perizinan, fluktuasi nilai tukar, dan kenaikan harga BBM.
Untuk proyek-proyek yang masih dalam pembangunan terdapat potensi risiko dari sisi IPP yaitu adanya keterlambatan proses pengadaan pembangkit dan keterlambatan proses konstruksi pembangkit sehingga dapat menyebabkan keterlambatan Commercial Operation Date (COD) pembangkit dari jadwal yang seharusnya.
3. Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik/Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK) 35.000 MW memiliki risiko terbesar dari sisi keterlambatan pekerjaan engineering, keterlambatan pekerjaan commissioning, dan keterlambatan pelaksanaan konstruksi. Selain itu, ada kemungkinan dilakukannya penyesuaian kembali jadwal COD terkait dengan menurunnya demand dan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan proyeksi awal.
4. Percepatan Penyediaan Air Minum memiliki risiko dari sisi gagal bayar yang mengakibatkan jaminan terklaim, meski tak dijelaskan lebih rinci terkait itu. Hanya saja dari total 11 PDAM yang mendapat penjaminan hanya 10 PDAM yang memanfaatkan penjaminan tersebut karena PDAM Buleleng menggunakan dana internal untuk membangun proyeknya. Dari 10 PDAM tersebut, seluruhnya telah menyelesaikan pembangunan proyek 100 persen dan 6 PDAM telah melunasi pinjaman perbankannya.
5. Program Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) memiliki risiko dari sisi proyek jalan tol terkait pembayaran nilai terminasi yang mungkin terjadi akibat keterlambatan pengadaan tanah, keterlambatan penyesuaian tarif, perubahan hukum dan/ atau tindakan/tiadanya tindakan Pemerintah, dan akibat keadaan kahar. Untuk penjaminan yang diberikan, baik melalui BUPI maupun Pemerintah, timbul hak regres yang dikenakan terhadap PJPK atas klaim yang dibayarkan oleh penjamin.
6. Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN dengan Jaminan Pemerintah memiliki risiko terkait kegagalan pemenuhan kewajiban finansial pada beberapa proyek yang didanai melalui pinjaman langsung BUMN.
7. Penugasan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera memiliki risiko fiskal yang timbul sebagai konsekuensi pemberian jaminan Pemerintah kepada PT Hutama Karya (Persero) dalam melaksanakan penugasan untuk membiayai pembangunan dan pengoperasian proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) tahap I.
8. Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan (Light Rail Transit) Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki risiko dalam hal al PT KAI (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu (risiko default) sehingga Pemerintah harus memenuhi kewajiban pembayaran tersebut.
Namun, tingkat probabilitas risiko default PT KAI (Persero) pada tahun 2024 masuk dalam kategori sangat rendah, mengingat telah tersedianya fasilitas mitigasi risiko dalam bentuk bridging loan PT KAI (Persero). Fasilitas mitigasi risiko tersebut digunakan untuk memenuhi gap/mismatch antara pendapatan proyek LRT Jabodebek ditambah subsidi Pemerintah dengan kewajiban finansial PT KAI (Persero).
9. Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah melalui Penugasan kepada PT SMI (Persero) memiliki risiko akibat kebijakan Pemerintah dalam memberikan penugasan pembiayaan infrastruktur daerah yang dalam hal ini melalui penugasan kepada PT SMI (Persero).
Dalam penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah, risiko terjadi ketika terdapat keterlambatan pembayaran kewajiban baik berupa pokok pinjaman dan/ atau bunga terutang yang jatuh tempo atas pinjaman daerah yang disalurkan PT SMI (Persero) selaku kreditur kepada Pemda selaku debitur.
Apabila keterlambatan tersebut terus berlanjut selama 30 hari, maka debitur akan dinyatakan status gagal bayar, sehingga PT SMI (Persero) selaku kreditur dapat menyampaikan tagihan klaim atas peristiwa gagal bayar tersebut kepada Kementerian Keuangan.
Komentar