Potensi “GRAND CORRUPTION” Dalam UU Ciptaker

JurnalPatroliNews – Pada hari-hari ini kita telah menyaksikan dinamika penyusunan UU Cipta Kerja hingga pengesahannya di DPR RI. Pemerintah mengajukan UU tersebut dengan dalih memudahkan dan meningkatkan investasi, dengan harapan pertumbuhan ekonomi nasional.

Hanya saja, dalam proses legislasi terdapat beragam persoalan, termasuk nihilnya partisipasi publik sebagai yang terdampak secara langsung.

Publik tidak mengetahui persis draft RUU yang dibahas Pemerintah dan DPR. Namun dari berbagai draft yang beredar, telah menimbulkan banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.

Hal-hal yang menjadi kendali bagi negara untuk mencegah kerusakan lingkungan dihilangkan, akibatnya perusahaan besar diuntungkan, negara dan publik dirugikan. Ketimpangan antara eksploitasi sumber daya dan manfaat terkesan dominan.

Tindakan Pemerintah dan DPR semacam ini dapat dikategorikan sebagai potensi “Grand Corruption”, sebagaimana definisi dari Transparancy International :
Grand Corruption is the abuse of high level power at the expense of many, and cause seriuos and widespread harm to individuals and society. It often goes unpunished.

Penyalahgunaan kewenangan terlihat pada proses pembuatan UU. Proses pembuatan UU yang benar adalah dengan membuka partisipasi publik. Namun dalam UU Cipta Kerja ini publik kesulitan mengakses draft RUU Cipta Kerja. Kemudian pembuatan UU dikebut di kala pandemi Covid-19 berlangsung, dengan berbagai rapat diadakan di hotel yang tidak terinformasikan ke publik.

Proses penyusunan UU semacam ini rawan disusupi kepentingan tertentu oleh segelintir pihak. Dan hasilnya menunjukkan kekhawatiran tersebut : berbagai aturan yang bertujuan untuk melindungan rakyat, melindungi lingkungan, memberikan kesempatan untuk partisipasi daerah, banyak yang dibabat dan mengakibatkan beberapa hal berikut :

1. Perusahaan yang melakukan kerusakan sulit/ tidak dapat dikejar pertanggungjawaban hukumnya.

2. Perijinan terkontrol di pusat, cenderung menimbulkan kekuasaan yang absolut. Sebagaimana ujaran yang sangat dikenal “ Kekuasaan cenderung untuk korupsi” ( Power tend to corrupt), maka kekuasaan yang cenderung absoult makin rawan untuk terjadinya korupsi.

3. Negara dan rakyat adalah pihak yang harus membayar atas semua kerugian dan kerusakan yang terjadi di kemudian hari. Misalnya dalam hal kebakaran hutan, ketika negara tidak dapat menuntut perusahaan-perusahaan pembakar hutan ; karena perubahan aturan pada UU no 32 tahun 2009 pasal 88, maka negara harus mengeluarkan biaya untuk menanggulangi bencana asap, dan masyarakat harus menanggung kerugian ekonomi ataupun kesehatan akibat bencana tersebut. Kebakaran hutan hanya merupakan salah satu contoh, masih banyak hal semacam itu dalam UU Cipta Kerja.

Tujuan Pemerintah agar investasi semakin tumbuh merupakan tujuan yang mulia. Sayangnya hal itu dilakukan dengan cara yang keliru.Dalam World Economic Forum 2017 jelas ditunjukkan bahwa hambatan terbesar untuk berbisnis di Indonesia adalah Korupsi. Namun tindakan Pemerintah dalam UU Cipta Kerja ini bukannya memperkecil potensi korupsi, namun malah membesarkan potensinya. Bahkan pembuatan UU Cipta Kerja ini pun terindikasi sebagai tindakan “Grand Corruption”.

Kerugian yang diterima kelompok pekerja/buruh hanyalah dampak kecil yang cukup terasa, jauh lebih besar dari itu adalah UU ini berpeluang menjadikan negara lebih lemah dari korporasi, selain potensi korupsi, tentu menciderai kedaulatan negara atas sumber daya alam dan manusia, seperti yang diamanahkan dalam UUD 1945.

Dengan demikian, maka sikap GAK LPT jelas : GAK menolak pengesahan UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja harus dibatalkan. Pemerintah dan DPR dapat menyusun ulang UU tersebut dengan memperhatikan masukan dari masyarakat sebagai pemenuhan asas deliberasi publik dan demokrasi.

Komentar