SIUKAK dan Problematika Hukum Penempatan Pelaut RI: Ironi Regulasi dalam UU Pelayaran Baru

JurnalPatroliNews – Jakarta – Pemberlakuan Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK) yang mengacu pada Undang-Undang No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran memunculkan kontroversi serius di kalangan praktisi dan pemerhati hukum maritim.

Permasalahan utamanya terletak pada ketidaksesuaian antara isi regulasi dengan cakupan UU induk yang menjadi dasar hukumnya khususnya terkait penempatan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing.

Tulisan ini menyoroti kerancuan norma tersebut, menelaahnya dari sudut pandang hukum administrasi negara dan pentingnya berpegang pada peraturan yang lebih tepat seperti UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran serta Konvensi Buruh Maritim (MLC) 2006.

Celah Regulasi dalam UU Pelayaran: Pelaut Kapal Asing Tidak Terakomodasi

UU No. 66 Tahun 2024 sesungguhnya tidak secara eksplisit mencakup pekerja asal Indonesia yang dipekerjakan di kapal asing. Fokus utama undang-undang tersebut hanyalah pada dua kategori: kapal berbendera Indonesia di luar negeri, dan kapal asing yang melintasi perairan Indonesia. Ketiadaan pengaturan terhadap pelaut Indonesia yang bekerja secara internasional di kapal asing menciptakan ruang abu-abu dalam perlindungan hukum dan legitimasi penerbitan SIUKAK.

Dalam prinsip tata kelola administrasi publik, lembaga negara hanya boleh menjalankan fungsi perizinan berdasarkan amanat undang-undang yang jelas. Maka, ketika SIUKAK dikeluarkan tanpa landasan hukum yang mencakup konteks pekerja di kapal asing, muncul persoalan mendasar: apakah kewenangan ini sah dan menjamin perlindungan pekerja yang dimaksud?

Tanpa MLC 2006 sebagai Rujukan, SIUKAK Kehilangan Arah Internasional

Yang tak kalah penting adalah absennya Maritime Labour Convention (MLC) 2006 sebagai konsideran dalam UU No. 66/2024. Padahal, MLC 2006 adalah standar internasional yang berlaku untuk buruh maritim, termasuk kondisi kerja, kesehatan, dan jaminan sosial. Ini mencerminkan kurangnya integrasi antara kebijakan nasional dan norma global yang telah diakui luas.

Ironisnya, SIUKAK justru berlaku untuk konteks yang melibatkan pelaut yang akan bekerja lintas negara dan lintas bendera kapal—sebuah ranah yang secara langsung masuk dalam cakupan MLC 2006. Ketiadaan MLC dalam konsideran UU No. 66 jelas mengindikasikan minimnya pendekatan global dan mengancam kredibilitas perlindungan pelaut Indonesia di luar negeri.

Komentar