JurnalPatroliNews – Jakarta,– PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sedang kesulitan secara keuangannya karena dampak pandemi COVID-19. Utang maskapai penerbangan tersebut saat ini diperkirakan mencapai Rp 70 triliun.
Jumlah itu diperkirakan akan terus menggunung seiring berjalannya waktu kalau tidak segera diatasi. Apalagi, dampak pandemi belum juga berakhir.
Lalu, bagaimana kondisi keuangan Garuda Indonesia sebelum pandemi hingga saat ini mempunyai utang tersebut?
Garuda Indonesia Masih Cetak Laba Bersih di 2019
Pada tahun 2019 atau saat pandemi belum menyerang, laba bersih Garuda Indonesia mencapai USD 6,98 juta. Jumlah itu diungkapkan Direktur
Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra setelah menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada tahun 2020.
“Pada tahun kinerja 2019, Garuda Indonesia berhasil membukukan laba bersih sebesar USD 6,98 juta. Capaian laba bersih tersebut sejalan dengan kenaikan pendapatan usaha sebesar 5,59 persen dari pencapaian tahun 2018, yaitu menjadi sebesar USD 4,57 miliar,” kata Irfan melalui keterangan dan konferensi pers secara virtual, Jumat (5/6).
Selain itu, Irfan mengungkapkan di tahun 2019, Perseroan juga berhasil mencatatkan perolehan positif pada laba usaha dengan nilai sebesar USD 147,01 juta. Ia menjelaskan capaian tersebut diraih melalui strategi quick wins priority yang dijalankan perusahaan.
Garuda Indonesia luncurkan livery khusus ‘Cinta Indonesia’ pada HUT ke-72 Foto: Dok. Garuda Indonesia
Rugi Rp 15,2 Triliun per September 2020
Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerah akibat pandemi COVID-19. Maskapai penerbangan milik negara ini harus menanggung kerugian senilai USD 1,07 miliar atau sekitar Rp 15,2 triliun (kurs Rp 14.210 per USD) hingga akhir September 2020.
Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, kinerja maskapai berkode GIAA itu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu, yang mencatatkan laba USD 122,42 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Kerugian tersebut diperoleh lantaran pendapatan usaha perseroan yang juga anjlok menjadi USD 1,13 miliar per akhir September 2020.
Padahal di periode yang sama tahun lalu sebesar USD 3,54 miliar.
Pendapatan Garuda Indonesia masih didominasi dari penerbangan berjadwal, senilai USD 917,28 juta pada kuartal III 2020. Namun, nilai tersebut merosot 67,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai USD 2,79 miliar.
Sementara pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal hingga kuartal III 2020 turun hingga 81,22 persen menjadi USD 46,92 juta. Padahal tahun lalu masih mencatatkan pendapatan USD 240,16 juta.
Saat ini, Garuda Indonesia belum menyampaikan laporan keuangannya khususnya sepanjang tahun 2020. Hal itu diketahui saat belum ditemukan laporan tersebut di keterbukaan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Utang Garuda Indonesia Capai Rp 70 Triliun
Dampak pandemi COVID-19 belum juga berakhir yang berimbas pada keuangan Garuda Indonesia. Saat ini, Garuda Indonesia mengalami kesulitan dan terlilit utang mencapai Rp 70 triliun. Jumlahnya diperkirakan akan terus menggunung.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan utang perusahaan akan bertambah lebih dari Rp 1 triliun setiap bulannya, sedangkan pendapatan terus turun karena bisnis penerbangan penumpang seret.
Menurut dia, bulan ini menjadi salah satu bulan terburuk karena pendapatan perusahaan diprediksi hanya USD 56 juta, sementara bayar sewa pesawat USD 56 juta, maintenance USD 20 juta, biaya avtur USD 20 juta, bayar pegawai USD 20 juta.
Kondisi itu juga membuat manajemen menawarkan pensiun dini ke karyawan yang dibuka mulai 19 Mei 2021 hingga 19 Juni 2021. Langkah tersebut salah satu diharapkan agar beban operasional perusahaan bisa berkurang.
(*/lk)
Komentar