Adhie Massardi: Melawan Mural Sama Dengan Melawan Moral Internasional

JurnalPatroliNews Jakarta – Tindakan pemerintah melalui aparat kepolisian atau satpol PP, merusak sejumlah mural dengan menghapusnya menggunakan cat dan memburu pelukisnya, bukan hanya merupakan tindakan anti-demokrasi tapi juga bisa disebut vandalisme, perbuatan merusak karya seni.

Begitu pendapat yang disampaikan Adhie M Massardi, seorang analis politik dan budayawan yang karyanya berjudul “Negeri Para Bedebah” (2009) dikenal sebagai sajak ikon perlawanan terhadap korupsi.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini turut konsen terhadap pembahasan mural yang sudah sejak lama diakui dan menjadi konvensi internasional sebagai aliran seni (rupa) publik.

“Pada mulanya adalah Dr. Atl (Gerardo Murillo Cornado), pelukis dan tokoh gerakan revolusi Meksiko yang pada 1906 mengeluarkan manifesto menyerukan pengembangan gerakan seni publik yang monumental di Meksiko,” ujar Adhie dalam keterangan tertulis yang dterima Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu malam (21/8).

Adhie melanjutkan, Gerardo menyebut pengembangan gerakan seni publik tersebut sebagai Spanish pintura mural atau wall painting.

Dari situ, mantan Jurubicara Presiden keempat RI Gus Dur ini berpendapat bahwa mural dengan sifatnya sebagai “seni publik”, yaitu karya seni rupa dengan media milik publik dinding, tembok-tembok di jalan umum, atau permukaan permanen lainnya, maka syarat utamanya tidak boleh merusak estetika kawasan sekitarnya

“Selain karakter dan estetika lukisan dan warna harus harmonis dengan alam sekitar, tema lukisan mural juga harus senafas dengan suasana hati masyarakat sekitarnya. Tak heran jika pelukis mural kebanyakan adalah seniman rakyat,” tuturnya.

Maka atas dasar-dasar seni itu, Adhie menjadi tidak heran jika melukis mural memang tidak mudah. “Selain harus bisa melukis tema sederhana secara cepat agar mudah dipahami publik, moralitas dan integritas pelukis mural juga harus kuat,” imbuh Adhie.

Itu sebabnya Adhie mengamati bahwa mural selain sering menjadi bagian dari kritik sosial (masyarakat), di berbagai belahan negara lain banyak yang memanfaatkannya sebagai ikon (destinasi) pariwisata.

Dia menyebutkan sejumlah contohnya, yaitu seperti mural The History of Mexico di National Palace, Mexico City karya Diego Rivera (1929-1935), atau karya Pablo Picasso “Guernica” (1937) yang dilukis di salah satu dinding di kota Basque, Spanyol.

Menurut Adhie yang juga deklarator sekaligus Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), beberapa mural yang menjadi viral di media sosial yang kemudian dihapus aparat dan konon pelukisnya diburu polisi, secara estetika dan tema sudah sesuai dengan standar mural konvensi internasional.

Karena baginya, jika mural tidak sesuai dengan standar moral publik, pasti usianya tidak akan lebih dari sehari, sebab akan dihapus masyarakat.

“Jika yang menghapus atau yang keberatan akan pesan yang disampaikan mural adalah pemerintah, maka jelas ada ketidaksinkronan antara pemerintah dan masyarakatnya,” jelasnya.

Hal menarik yang menggelitik Adhie dalam karya seni mural di Jakarta yang ramai- beberapa waktu ke belakang, justru adalah kejadian setelah beberapa mural dihapus aparat dan pelukisnya diburu. Di mana lukisan mural bukannya musnah, malah justru bertambah di banyak daerah

Dari fenomena tersebut, Adhie lantas memandang pelukis mural adalah seniman rakyat. Bila mereka sudah bergerak, artinya hati rakyat sudah bergerak dan sudah merupakan gerakan moral spiritual.

Maka menurutnya, melawan mural sama juga melawan moral bahkan moral internasional, karena mural sudah menjadi konvensi dunia. Karena itu, kalau sudah masuk dalam kategori merusak mural itu bisa disebut sebagai tindakan vandalisme.

“Nah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, vandalisme itu adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni atau barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas,” pungkas Adhie Massardi.

Komentar