Pakar Hukum Nilai Adanya Political Murder dan Tendencious Judicial Mahkamah Konstitusi

Terkait kepentingan politik, kata dia, Uji Konstitusionalitas yang dianggap memberi peluang majunya Gibran Rakabuming Raka, sehingga menurut Majelis Kehormatan, para hakim terlapor in casu Ketua MK Anwar Usman dipandang melakukan pelanggaran berat.

“Prinsip impartiality, tak ayal kredibilitas MK dinilai sudah runtuh dengan ungkapan Pelapor “Mega Skandal Pusaran Mahkamah Keluarga”. Independensi dan moralitas lembaga penjaga konstitusi dan demokrasi itu dipandang melakukan pelanggaran etika berat (extra ordinary ethics violation),” bebernya.

Kendati begitu, menurutnya yang jadi persoalannya kemudian ialah Hakim MK Anwar Usman menggangap dirinya tidak dalam posisi memiliki conflict of interest.

“Tradisi semacam itu sudah berjalan sejak Ketua MK yang lalu menjabat, Jimly Asshidiqqie, Mahfud MD, Arif Hidayat. Conflict of interest menurut Anwar Usman juga sebenarnya sangat tampak dalam perpanjangan usia Hakim MK Sadli Isra. Namun terlepas dari itu semua, tampaknya Para Hakim MK itu dipersalahkan terkait “Legal Reasoning” oleh MKMK,” urainya.

“Jika sekiranya tradisi Hakim itu bebas membangun “Legal Reasoning”nya dalam rangka Independency of Judiciary sudah berlansung lama, kemudian dalam perkara No. 90/PUU-XX/2023 kemudian dianggap sebagai Judicial Fallacy (penyimpangan prinsip peradilan in casu MK) maka wajar kemudian toward common sense (bangun rasional) penghukuman Hakim-hakim MK melalui MKMK memiliki tendensi membunuh tradisi Independency of Judiciary itu sendiri. Suatu situasi dalam paradoks dalam berhukum,” pungkas Staf Ahli Hukum Wakil Presiden itu.

Komentar