Keajaiban Sawah Terasering Multi-Generasi Suku Hani di China, ‘Harmoni Ribuan Tahun Antara Manusia Dengan Alam’

“Orang-orang Hani selalu hidup selaras dengan alam, membentuk kehidupan mereka dengan hutan di atas gunung, desa-desa di tengah-tengah, sawah terasering di bagian bawah, dan sistem pengairan seperti sungai mengalir melaluinya.

“Ini menciptakan ekosistem unik dari ‘empat elemen’ — hutan, desa, terasering, dan sistem air,” kata A.

Strategi ini bukan hanya bermanfaat untuk memanen padi, tapi juga dalam semua hal, dari kayu, sayur-mayur, menanam buah, beternak bebek, budidaya ikan, dan mengumpulkan rempah untuk pengobatan tradisional.

Teras-teras sawah ini adalah gudang makanan bagi masyarakat Hani sepanjang tahun.

“Air terus mengalir dari lanskap ini sepanjang waktu,” ujar seorang ahli etnografi AS, Jim Goodman, yang juga penulis buku Yunnan: China South of the Clouds.

Goodman telah berinteraksi dengan masyarakat kesukuan di area tersebut selama puluhan tahun.

“Kebanyakan sawah terasering di tempat lain tidak memiliki sistem itu. Jadi, ketika musim dingin tiba, di luar musim tanam padi, terasering Hani masih akan berguna untuk tempat ikan dan kodok, juga siput, atau binatang-binatang lain yang bisa mereka makan.”

Konon, suku Hani pertama kali tiba di Pegunungan Ailao, dekat perbatasan modern Yunnan dengan Vietnam, di sekitar abad ke-3.

Mereka bermigrasi ke arah selatan dari dataran tinggi Qinghai-Tibet yang keras, tandus, dan tak kenal ampun.

Mereka begitu terpikat dengan apa yang mereka temukan di pegunungan — tanah yang subur, iklim bersahabat, banyak curah hujan — maka mereka memutuskan untuk menetap.

Dengan lebih dari 80 desa menggantungkan kehidupan dari terasering, air adalah komoditas yang tak hanya penting bagi keberlangsungan hidup orang-orang Hani, tapi juga untuk kohesi bermasyarakat.

Pemerataan pasokan, kata Goodman, adalah awal dari keberhasilan kelompok ini.

“Orang-orang Hani membangun lanskap ini secara demokratis, menggunakan sistem kanal, pemisah, dan tanggul untuk memastikan air mengalir secara adil,” katanya.

“Setiap desa memiliki ‘penjaga air’ yang ditunjuk secara resmi, yang memastikan air didistribusikan secara adil. Keluarga yang sawahnya berada di bagian bawah terasering mendapatkan air yang sama dengan keluarga yang sawahnya ada di bagian atas.”

Dibangun dengan tangan dan kaki

Jika dilihat dari ketinggian, terasering berbentuk asimetris — sebagian besarnya seperti lapangan sepakbola, yang lain tidak lebih luas dari sepetak sawah kecil, dan dibatasi oleh dinding melengkung dari lumpur padat — tampak seperti teka-teki gambar maha besar.

Di musim dingin dan musim semi, teras-teras yang terisi air akan memantulkan cahaya ke angkasa, seperti jendela kaca yang berkilauan.

Para petani Hani mulai ‘memahat’ terasering di masa Dinasti Tang (618-907 M), dan menurunkan ilmu ini hingga bergenerasi-generasi.

Sejak itu, sistem terasering ini dibangun, mulai dari lokasi-lokasi di dekat bantaran sungai di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, hingga lereng pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.800 meter di atas permukaan laut, termasuk para tanjakan dengan kemiringan tanah 70 derajat.

Seluruh sawah terasering ini dibangun dengan tangan, dan metode konstruksi yang dipakai hari ini sama dengan yang dipakai oleh nenek moyang orang Hani.

“Anda tidak bisa membangun terasering dengan mesin,” jelas Goodman. “Anda tidak bisa memakai traktor atau mesin lain karena bentuk dan lokasinya.”

Meskipun luasnya selalu bertambah setiap kali musim tanam tiba, karya seni raksasa masyarakat Hani ini tersembunyi dari mata dunia selama berabad-abad.

Orang asing pertama yang datang ke area ini pada 1890-an adalah Pangeran Henri dari Orléans yang memimpin ekspedisi Prancis dari Vietnam ke Yunnan, mencari hulu Sungai Irrawaddy yang membelah Burma.

“Perbukitan di sini ditutupi dua pertiga tingginya dengan sawah padi, lebih tinggi dari teras-terasnya. Di atasnya, air menetes dengan teratur, berkilauan seperti kaca tertimpa matahari,” tulis Henri.

Ia menambahkan, “Metode irigasi ini seperti sebuah karya seni, semua tanggul dibuat dengan cara dilempar dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki.”

Pada awal 20-an, Harry A Franck — penulis perjalanan terkenal dari Amerika — melewati Yunnan dari Vietnam. Dia memandangi lanskap terasering dari jendela kereta yang dinaikinya.

“Ada terasering di mana-mana, lebih curam daripada tangga, panjang, namun juga sempit dan tinggi. Pantulan bayangan pegunungan tampak di sawah-sawah yang baru ditanami,” tulis Franck dalam bukunya, Roving Through Southern China (1925).

Namun kemudian, di 1930-an — saat perang antara China dan Jepang berkobar, diikuti oleh perang sipil dan revolusi, dan ditutupnya negara komunis baru di balik apa yang disebut sebagai “tirai bambu” — wilayah pegunungan ini tertutup dari orang asing.

China baru membuka diri lagi pada 80-an, namun tak banyak orang menaruh perhatian hingga pada tahun 2000-an, ketika pemerintah lokal bersikeras mendaftarkan sawah terasering ke Daftar Warisan Dunia UNESCO.

Komentar