Kisah Pengikut Nazi di AS Berubah Menjadi Aktivis Antidiskriminasi – ‘Saya Bisa Saja Menjadi Pembunuh Rasis’

Pada akhir masa remaja, Mike menjadi seorang pengikut Nazi.

Sekarang, enam tahun kemudian, dia menjadi pendukung gerakan Black Lives Matter – dan ini membuatnya khawatir secara mendalam untuk menengok ke belakang, di tahapan paling bergejolak dalam hidupnya; keluar dengan senjata api dan menembaki orang-orang.

Saat Mike menutup mata sejenak bersama seorang pria yang baru saja terjatuh, dia tahu bahwa dia akan mati.

Tiga hari setelah kematian George Floyd, unjuk rasa mendukung Black Lives Matter pecah di seluruh wilayah Amerika Serikat. Saat itu, Mike melakukan unjuk rasa di Oakland, Califronia, dengan kekasihnya.

Tapi saat malam tiba, polisi mulai memuntahkan peluru karet dan gas air mata. Mereka memutuskan untuk keluar dari barisan unjuk rasa.

Mereka kembali ke arah mobil mereka, sepanjang jalanan dipenuhi dengan asap hitam hasil pembakaran dari tempat sampah. Saat mereka melihat van putih berhenti, kemudian mereka mendengar letusan senjata.

Belakangan, Mike mendengar bahwa pria yang tewas adalah Dave Patrick Underwood, petugas keamanan di gedung pengadilan.

Secara tidak sengaja, Mike memiliki hubungan dengan Underwood; dia berada dalam barisan unjuk rasa dengan anggota keluarganya.

Tapi dia juga terhubung dengan pria yang kemudian ditahan atas pembunuhan Underwood. Ia adalah Steven Carillo, seorang sersan di Pangkalan Udara California, tempat yang sama saat Mike mendaftar ke sana beberapa tahun sebelumnya.

Tapi, itu belum semuanya. Mike punya rahasia. Di rumah, tepatnya di lemari pakaiannya terdapat sebuah seragam Nazi – ia sengaja tetap menggantung seragamnya itu untuk mengingatkan masa lalu dari dirinya sendiri.

Seperti Carillo, Mike pernah terjerembab ke dalam lubang hitam ekstremisme, dan menjadi seorang pengikut garis keras sayap kanan Amerika.

Dia menghabiskan masa kecilnya di pinggiran kota kecil, yang sebagian besar penduduknya berkulit putih. Hari-hari ia lalui dengan mendayung perahu kecil di danau atau bersepeda keliling kota dengan teman-temannya yang kompak.

Tapi ketika usia Mike menginjak 12 tahun, ibunya cerai dengan ayah tirinya, lalu pindah ke wilayah lain di kota itu.

Akhirnya, Mike tinggal di tempat yang gersang, hutan beton yang dipenuhi dengan multi-ras dan dia membencinya. “Ada orang-orang di sana yang sepertinya tidak pernah saya lihat sebelumnya, makanannya berbeda, rasa airnya berbeda, segalanya benar-benar berbeda.”

Mereka juga kurang mampu sekarang, dan ayah tirinya tak pernah menepati janji untuk mengunjungi mereka.

Semua ini membuat Mike marah, dan dia menemukan pelampisan dari kemarahannya itu melalui gerakan kanan.

Dianjurkan oleh ayah seorang teman, Mike mulai mendengarkan acara perbincangan sayap-kanan dengan pembawa acara Sean Hannity, dan ketika dia mencari konten serupa melalui internet, dia menemukan video dan podcast ideologi kanan di Facebook dan YouTube.

Algoritma media sosial telah menciptakan apa yang dikenal sebagai efek lubang hitam – menuntunnya ke konten yang lebih ekstrim.

Hal yang pernah ia dengar, contohnya, perceraian merupakan konspirasi dari Yahudi yang artinya bisa menghancurkan keluarga ideal kulit putih. “Dengan alasan apa saja, bagi kami itu lebih mudah untuk dipercaya dari pada ayah tiri saya seorang pecandu alkohol yang memukuli saya dan saudara-saudara saya,” katanya.

Pada akhirnya, Mike beranjak ke sudut tergelap di internet – ke wadah pesan grup nasionalis kulit putih di 4chan dan 8chan. Situs-situs ini seperti sebuah klub sosial bagi kalangan rasis, Nazi dan nasionalis kulit putih, di mana orang-orang bisa mengucapkan umpatan rasial sambil mengenal satu sama lain, kata Mike.

Pada satu kesempatan, dia diundang seorang teman yang ia temui secara online, untuk memproduksi “video propaganda”. Temannya itu memiliki jumlah besar senjata api, dan sekelompok dari mereka mengangkutnya ke dalam beberapa truk, lalu membawanya ke bukit-bukit terdekat.

“Kami menembakkan senjata otomatis dan semi-otomatis, merekamnya dan berlari-lari dengan seragam Nazi,” kata Mike.

Saat itu usianya masih 17 tahun, ia telah menjadi wadah bagi ekstrimisme beracun.

Komentar