Kisah Pilu Warga Afghanistan Tak Ikut Pesawat Evakuasi Terakhir

JurnalPatroliNews, Kabul – Saat tentara Amerika Serikat (AS) meninggalkan Afghanistan untuk terakhir kalinya, Hussain yang memegang paspor AS karena pernah bekerja untuk militer AS berjuang membawa enam putrinya melewati pos pemeriksaan Taliban menuju bandara Kabul selama beberapa hari berturut-turut.

Dia berharap bisa naik penerbangan evakuasi dengan selamat bersama keenam putrinya. Hussain menelepon dan mengirim email ke Kedutaan Besar AS selama berhari-hari tanpa ada balasan. Demikian seperti dilansir Reuters, Rabu (1/9/2021).

Kemudian seorang tentara AS menghubunginya hanya untuk mengatakan bahwa satu-satunya kesempatan untuk terbang adalah sendirian, tanpa putri-putrinya yang bukan warga negara AS. Istri Hussain meninggal dunia pada Juli lalu akibat COVID-19, dan meninggalkan anak-anaknya berarti menelantarkan mereka.

Pada Senin (30/8) malam waktu setempat, Hussain dan keluarganya berdiri di tengah kerumunan di luar bandara Kabul, mendengarkan deru pesawat militer C-17 milik AS lepas landas, mengakhiri intervensi militer panjang selama dua dekade di Afghanistan.

Hussain kini termasuk di antara warga Afghanistan yang tak terhitung jumlahnya, yang mempertimbangkan untuk menempuh perjalanan darat yang berbahaya.

“Saya dengar dari berita dan kerabat bahwa ribuan orang menunggu di perbatasan Afghanistan dengan Pakistan dan berupaya masuk ke wilayah Pakistan,” tutur Hussain kepada Reuters, pada Selasa (31/8) waktu setempat, melalui seorang penerjemah.

“Saya tidak tahu, haruskah saya pergi ke Tajikistan,” ucapnya bertanya-tanya, khawatir soal bagaimana dirinya akan mengurus anak-anaknya di sepanjang perjalanan jika dia memutuskan untuk pergi.

Dengan ditariknya seluruh tentara AS, berakhirnya penerbangan evakuasi AS dan penerbangan komersial menghindari bandara Kabul yang tidak memiliki Air Traffic Control yang beroperasi, upaya menyelamatkan ribuan warga Afghanistan kini fokus pada mengatur jalur aman hingga ke perbatasan negara itu.

Bisa berhari-hari atau berminggu-minggu sebelum perundingan antara Taliban, Qatar dan Turki soal bagaimana bandara Kabul akan dikelola, selesai dilakukan.
Banyak warga yang nekat menempuh perjalanan darat berbahaya menuju Pakistan, dengan yang lain berupaya mencapai perbatasan dengan negara-negara Asia Tengah.

Di Torkham, perlintasan perbatasan utama dengan Pakistan yang ada di sebelah timur Khyber Pass, seorang pejabat Pakistan yang enggan disebut namanya menyatakan: “Sejumlah besar orang sedang menunggu di sisi Afghanistan untuk pembukaan gerbang.”

Ribuan orang lainnya dilaporkan memenuhi pos perbatasan Islam Qala yang terletak di antara Afghanistan dengan Iran. “Saya merasa berada di antara pasukan keamanan Iran memberikan semacam relaksasi bagi warga Afghanistan saat mereka memasuki Iran, dibandingkan sebelumnya,” tutur seorang warga Afghanistan yang berhasil menyeberang ke perbatasan Iran.

Perjalanan darat yang ditempuh warga Afghanistan harus melewati banyak pos pemeriksaan Taliban sejauh ratusan kilometer di ruas jalanan kasar dengan mobil pribadi, bus umum dan minibus yang sangat penuh risiko, terutama bagi mantan pejabat militer dan keamanan, juga pemerintahan.

Pemegang paspor asing seperti Hussain, warga Afghanistan yang memiliki visa dan orang-orang yang membayar suap masuk dalam kategori orang-orang yang bisa melewati pos pemeriksaan Taliban.

“Hanya ada tembok batas di seluruh negara itu sekarang,” sebut mantan pejabat AS yang bergabung jaringan informal untuk membantu warga AS, para pemegang green card dan warga Afghanistan berisiko melewati kekacauan di bandara Kabul untuk bisa dievakuasi dalam beberapa pekan terakhir.

Badan pengungsi PBB memperkirakan hampir setengah juta warga Afghanistan bisa mengungsi dari negara mereka pada akhir tahun ini.

(dtk)

Komentar