Basarnas adalah lembaga dengan jabatan sipil. Oleh karena itu kasus hukum yang menjerat pejabat basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil. Prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer.
“KUHAP menyampaikan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada Peradilan Militer.” Lanjut Dipo.
Kredibilitas KPK memang sedang banyak dipertanyakan namun hal itu tidak harus membuat upaya penegakan hukum pemberantasan hukum dipaksa tunduk kepada kekuatan tertentu dalam hal ini militer. Kita tidak boleh mem framing kasus yang menjerat Basarnas ini dalam frame Polri VS TNI. Hanya kebetulan pimpinan KPK nya adalah perwira polisi dan Kabasarnas yang ditersangkakan adalah personel militer.
Baik Polisi maupun tentara jika brengsek tetap harus sama-sama diadili dalam sebuah peradilan yang transparan. Transparansi itulah yang dipertanyakan publik seandainya kasus ini jadi ditangani oleh peradilan militer.
“Agar komplikasi kasus semacam ini tidak muncul lagi maka semua perwira polisi dan TNI yang ditugaskan di berbagai lembaga sipil sebaiknya harus dipensiunkan kan diri dari jabatan kesatuannya. Jika ada masalah tidak muncul polemik yang muncul seperti yang ada sekarang.”
Narasumber berikutnya Asriana Issa Sofiadosen Universitas Paramadinamenyatakanbahwa kasus Basarnas ini memang seharusnya di proses di peradilan umum karena ini melibatkan anggota TNI aktif tapi sedang bertugas di lembaga sipil sehingga seharusnya KPK bisa yang berperan dalam tindakan hukumnya.
“Kasus Basarnas ini memang mencederai kepercayaan publik. Korupsi apapun tidak hanya merugikan secara keuangan negara, tapi banyak dampak-dampak yang lain, salah satunya adalah kepercayaan publik dan ini tidak bisa disepelekan.” Tuturnya
Kasus korupsi sama dimata hukum harus equality before law, mau militer, sipil. KPK sudah babak belur, sudah minta maaf dan lain lain, dan juga banyak kritik kepada KPK karena sebetulnya dari undang-undang masih bisa melakukan peradilan umum.
“Untuk Indonesia, ada indeks GDI (Government Defense Integrity) indeks, disini kita (Indonesia) dari 2015 hingga 2020 berada di tingkat yang sama. Indonesia tidak beranjak di nilai D, nilai D ini adalah resiko yang tinggi. Artinya disini menunjukkan dari sektor Hankam kita bermasalah, di level dunia dan kita sudah merasakan sendiri di sektor domestik banyak kasus yang akhirnya terbongkar.” ungkapnya
Dalam kesempatan yang sama Saut Situmorang mengungkapkan bahwa kondisi ini dimulai dari bencana undang-undang 19/2019, dimana KPK kehilangan rohnya, value-nya yang tadinya independen menjadi dependen, bisa dijadikan contoh pemberantasan korupsi yaitu bebas Conflict of interest, akuntabel dan transparan tetapi kini bergeser.
Terkait UU KPK yang disetujui oleh Presiden Jokowi, sehingga menyebabkan KPK jadi lemah. “Kalau Jokowi mau membuat Perpu dia menjadi presiden terkeren sepanjang sejarah. Tapi kenyataannya kan harapan itu tidak datang. Jadi presiden paling dipertanyakan dalam sejarah pemberantasan korupsi. Dan itu sudah terbukti dalam sejarah mulai dari tahun 95, indeks persepsi korupsi itu naik terus tapi di era dia terjadi penurunan 6 poin lebih.” Paparnya.
Peneliti LP3ES Wijayantomenyatakan bahwa nasib demokrasi di Indonesia di ujung tanduk dengan adanya kejadian-kejadian yang berlangsung beberapa waktu terakhir ini.
“Mengutip Samuel Huntington bahwa dalam suatu negara yang mengalami transisi demokrasi seperti di Indonesia ada 2 kemungkinan yang akan kita lihat. Pertama kita akan mengalami konsolidasi demokrasi atau kita akan gagal melaluinya dan kembali ke otoritarianisme.” Katanya.
Komentar