Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat, Aspek Penting Pembangunan Indonesia Menuju Sebesar – Besar Kemakmuran Rakyat

JurnalPatroliNews Jakarta – Warga Sigapiton, Kec.Ajibata di Kab.Toba Provinsi Sumatera Utara berharap, lewat sidang lapangan yang berlangsung dilaksanakan Pengadilan Negeri Balige Kab.Toba dipimpin oleh Ketua Hakim Lenny SH.MH, dilakukannya bersama anggota Pengadilan Negeri (PN) Balige, bersama tim Penggugat yang juga di hadiri seluruh tergugat pada Jumat 24 September 2021 terkait lahan seluas 120 hektare atas nama milik penggugat keturunan Op.Ondol Butarbutar yang terletak di Dusun sileang-leang berjalan dengan lancar.

Sengketa lahan tersebut sudah lama berperkara dengan pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang di kabarkan sebagai pengelola pembangunan pariwisata di Kawasan Danau Toba di wilayah provinsi Sumatera Utara.
Menurut, salah satu turunan Op.Ondol Butarbutar, Mangatas Butarbutar, bahwa sidang lapangan dilakukan pada Jumat 24 September 2021 dimulai sejak pukul 08:00 wib hingga berakhir pada pkl 17:30 wib baru selesai diatas tanah seluas 120 hektare itu.

Di jelaskannya, khususnya, tanah hak ulayat adat yang di sileang-leang adalah milik mereka selama ini ikut diklaim oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) sehingga berperkara kePengadilan Negeri Balige.

Mangatas Butarbutar mengatakan dengan bahasa batak, bahwa atas nama “Pomparan ni Opputa nagabe i dohot tu sude Tim perjuangan. Mauliate ma tadok tu Tuhan pardenggan basai, acara Pemeriksaan /sidang lapangan terhadap tanah adat Op. Ondol Butarbutar di Dusun Sileangleang oleh Majelis Hakim dipimpin Ketua PN Balige Lenny, SH, MH bersama Penggugat dan turut hadir meski mewakili seluruh Tergugat pada Jum’at 24 September 2021, sejak pkl 08.00 – pkl 17.30 wib berjalan dengan lancar,ucapnya.

Dia, tidak lupa menyampaikan terima kasih yang tak terhingga mereka sampaikan juga kepada seluruh pihak yang tidak bisa di sebut satu persatu yang telah turut berdoa membantu dan mensupport sehingga terlaksananya agenda penting dalam proses perjuangan mereka mempertahankan tanah hak ulayat miliknya itu.

Tidak lupa dia berdoa meminta pertolongan Tuhan, “Semoga nanti keputusan majelis hakim yang mengadili perkara ini dituntun Tuhan untuk memberi keadilan dan kemenangan buat kita,” Amin, ucapnya.

Menurutnya, bahwa sidang selanjutnya dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari pihaknya selaku Penggugat.
Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa akibat lahan yang kini masih dalam perkara terkait lahan seluas 120 hektare, dia mengaku bahwa pihaknya warga Sigapiton sudah banyak mengalami cobaan dan tekanan dari kekuasaan, bahkan penderitaan karena beberapa orang harus diproses dan ditahan oleh aparat akibat laporan pihak BPODT kepada pihak yang berwajib, pungkasnya.

Ketika, Dirut BPODT, Jimmy Panjaitan di konfirmasi JPN seputar sidang lapangan yang sudah dilakukan pihak Pengadilan Negeri Balige, belum diperoleh penjelasan pada Sabtu 25/09.
Sementara itu, menanggapi seputar telah dilakukan sidang lapangan oleh pihak Pengadilan Negeri Balige terhadap perkara tanah seluas 120 ha di dusun Sileangleang, Ketua Umum LSM-Dewan Rakyat Pemantau Sengketa (LSM-DERS), Anggiat M Siahaan memberi komentar.

Menurutnya, bahwa dinegeri ini Hukum pertanahan nasional meninggalkan sistem kolonial yang dualistis menjadi suatu sistem yang utuh berdasarkan hukum adat. Hukum pertanahan nasional dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah didasarkan pada hukum adat dan masih mengakui eksitensi masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sepanjang masih hidup.

Tetapi, pengakuan dan perlindungan tersebut mengalami pelemahan, dengan lahirnya undang-undang sektoral apalagi untuk hak ulayat tersebut tidak secara tegas termuat dalam UUPA dengan merumuskan hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai rujukan hak ulayat tersebut.

Undang Undang menakui Hak ulayat, yang merupakan hak dari masyarakat hukum adat. Di satu pihak memiliki aspek kewenangan yang bersifat hukum publik untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, dan di lain pihak memiliki aspek hukum keperdataan, yang mengatur hubungan hukum antara anggota masyarakat hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dan antara orang-orang dalam perbuatan, menimbulkan benturan dengan hak menguasaai negara dalam konstitusi.

Pengakuan hak ulayat dalam masyarakat yang berubah diassumsikan akan melemah seiring perubahan zaman, menyebabkan pengakuan dan penegasan hak ulayat tersebut dalam UUD 1945 setelah Perubahan, hampir tidak berarti dilihat dari tujuan kesejahteraan rakyat, karena pemberian hak-hak dan izin menggunakan lahan dengan skala besar kepada korporasi, menyingkirkan hak ulayat masyarakat hukum adat secara tidak adil.

Di tegaskannya, demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa Hakim perlu mendalami tujuan dari Pasal 2 Ayat (2) Perpres No.49/2016 terkait cakupan Kawasan Pariwisata Danau Toba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kawasan seluas 500 (Lima ratus) hektare, yang akan diberikan hak pengelolaannya kepada Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang digambarkan pada peta sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden tersebut.

Disisi lain, lahirnya konsep hak komunal atas tanah bagi masyarakat hukum adat dalam kebijakan pemerintahan, meskipun mengandung kelemahan formal karena suatu materi muatan undang-undang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria, namun konsep tersebut seharusnya dapat menjadi jalan keluar saat ini dan hingga dimasa yang akan datang, terangnya. (ams/JPN)

Komentar