Mewaspadai Ancaman Nontradisional Dalam Membangun Toleransi Sosial

Oleh: Rully Rahadian

Masalah disintegrasi bangsa merupakan persoalan klasik di negeri ini. Apalagi pada pascareformasi, pola keterbukaan dan demokratisasi justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok di masyarakat maupun individu-individu tertentu yang hanya memikirkan kepentingan individu maupun kelompoknya, dan tentu saja tidak memikirkan kepentingan bersama untuk bangsa.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan berbagai sumber dayanya tentu saja sangat rentan dalam menghadapi berbagai kemungkinan bentuk ancaman nontradisional.

Sebelum kita melangkah pada bahasan yang lebih jauh, mari kita cermati pemahaman mengenai ancaman nontradisional itu sendiri. Secara sederhana, ancaman nontradisional merupakan sebuah bentuk kejahatan yang mengganggu human security seperti:

Senjata pemusnah massal dalam bentuk yang berbeda (senjata kimia, racun, dan lain-lain).

Rudal balistk, peluru kendali, roket jarak jauh, dan lain-lain.

Senjata nuklir.

Peredaran senjata.

Space war.

Peredaran narkoba.

Pembajakan.

Kejahatan trans nasional.

Mafia.

Perang siber.

Terorisme.

Kerusuhan.

Pemberontakan domestik/separatisme.

Perebutan sumber daya, energi, dan bahan baku.

Tidak mengherankan jika Indonesia adalah negara yang berpotensi paling tinggi dalam ancaman nontradisional, mengingat posisi Indonesia yang merupakan crossroads di antara samudera dan benua-benua besar, letak geografis yang menguntungkan sehingga kaya akan keanekaragaman hayati, titik akulturasi budaya yang sangat kaya, dan masih banyak lagi.

Artinya, Indonésia memiliki daftar tunggu atau waiting list yang panjang, di mana bangsa dan negara lain yang ingin menguasai Indonesia pun berlomba mencari cara yang paling tepat dan berbeda dengan cara para kompetitornya melancarkan serangan dalam konsep perang modern ini.

Kekuatan bangsa kita yang secara kodrati beragam suku, agama, ras dan antargolongan ini tentunya terletak pada sikap toleransi sosial dalam tatanan masyarakatnya. Meskipun sejarah dan fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki karakter yang kuat dalam tolerasinya, sehingga mempunyai ikatan persaudaraan sebangsa, meskipun mempunyai perbedaan yang beragam.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peta toleransi sosial yang ideal adalah terciptanya integrasi. Namun tidak berarti dalam sebuah integrasi bisa terbebas dari potensi konflik. Begitu pula dalam sebuah peta konflik, memungkinkan terjadinya integrasi.

Hal ini dapat dengan mudah kita baca pada hubungan-hubungan sosial yang berbentuk pemaksaan kehendak, anarkisme, protes pada kebijakan politik, protes pada keputusan pengadilan yang kesemuanya bertujuan untuk meminimalisasi dan menghilangkan kelompok yang dianggap musuh, kelompok yang dianggap penyimpang nilai dan norma, sehingga kondisi seperti itu dapat disebut konflik sosial.

Kita juga perlu mengetahui tahapan yang umum terjadi dalam perang modern yang pernah dimuat dalam Buletin Profesional Intelpam TNI AD DENIPENI Edisi 11/Tahun V Novémber 2004 (16 tahun yang lalu Intelejen TNI AD sudah membahas hal ini, dan sekarang kita telah memasuki masa tersebut).

Tahapan yang dipaparkan tersebut adalah:

1,Tahap infiltrasi; yang dilakukan melalui jalur intelijen, militer, ekonomi, ideologi, politik, sosial budaya/kultur, agama, bantuan-bantuan asing, kerja sama di semua bidang dan media/ informasi

2.Tahap eksploitasi; adalah tahap adu domba, dilakukan dalam bentuk perang opini, ciptakan sel-sel perlawanan, bentuk agen-agen, gelar provokasi dan opini internasional, lakukan diplomatik dan politik ofensif, timbulkan kekacauan/keresahan, timbulkan konflik horizontal (SARA), timbulkan/bantu separatis/pemberontakan dan timbulkan perang saudara.

3.Tahap cuci otak; adalah mengubah paradigma/cara berpikir terhadap wawasan negara/wawasan Nusantara (seluruh aspek kehidupan), mengubah nilai-nilai nasional yang berorientasi kepada nilai-nilai asing.

4.Hancurkan; lemahkan dan kuasai melalui intelejen, tentara (TNI), ekonomi, politik, budaya dan ideologi.

5.Sasaran direbut dan dikuasai; negara sasaran dalam keadaan terjajah.

Dalam mengantisipasi hal tersebut, tentunya harus menggunakan pola antisipasi yang berdasar kepada paradigma ketahanan nasional ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam). Lemhannas RI sebagai Lembaga Ketahanan Nasional menggunakan Astagatra yang mencakup geografi, demografi, SKA, dan ipoleksosbudhankam.

Sedangkan dalam kegiatan kontra-intelijen, intelijen strategis menggunakan parameter sembilan komponen strategis yang meliputi geografi, politik, ekonomi, sosial budaya, militer, transportasi dan komunikasi, sejarah, ilmu pengetahuan teknologi, dan tokoh-tokoh penting.

Dari rangkaian uraian di atas tadi, betapa tidak mudahnya mengelola bangsa dan negara ini, merujuk kepada potensi yang dimiliki serta berbagai aspek yang melekat padanya. Tentunya kita sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang sadar dan dewasa, bisa memahami apa yang terjadi pada bangsa dan negara ini, serta apa yang akan terjadi jika kita tidak mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk yang bisa kapan saja terjadi.

Mewujudkan masyarakat adil makmur harus ditempuh melalui berbagai program yang berorientasi kepada pembangunan di segala bidang yang tidak selalu berbentuk fisik, ekonomi dan politik, faktor nonfisik sangat penting, mengingat ancaman nontradisional kepada bangsa ini sudah memasuki zona merah.

Pembangunan sosial budaya atau pembangunan bangsa, atau bisa dipertajam melalui nation character building merupakan hal yang sangat penting. Maka dalam hal ini membangun toleransi sosial merupakan faktor yang akan memperlancar semua program pembangunan, karena dengan membangun toleransi sosial, maka Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa adalah sebuah bentuk nyata dan realita masyarakat bangsa ini, bukan hanya slogan hafalan yang tidak bermakna bagi setiap anak bangsa.

 

*Penulis adalah pemerhati Assymetric Warfare (Perang Asimetris)

Komentar