Ia membandingkan proposal dari China dan Jepang dalam proyek ini. Jepang meminta adanya garansi dari negara (APBN) untuk mendukung proyek tersebut, sementara China tidak memerlukan garansi semacam itu.
“Ada perbedaan mencolok antara proposal China dan Jepang. Proyek dari China yang bernilai USD 6 miliar dianggap lebih murah karena tidak meminta jaminan dari APBN. Sedangkan Jepang, dengan nilai proyek USD 6,2 miliar, menyertakan jaminan dari negara,” ungkap Anthony.
Selain itu, ia memaparkan perbedaan besar pada suku bunga pinjaman. China menawarkan pinjaman untuk 75 persen dari total proyek dengan bunga 2 persen per tahun, sedangkan Jepang memberikan bunga hanya 0,1 persen per tahun.
“Jika kita hitung, bunga pinjaman dari China 20 kali lebih mahal dibanding Jepang. Ini bahkan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan awal proyek. Setelah dihitung ulang, biaya tambahan dari bunga ini bisa mencapai USD 700-900 juta dalam 10 tahun,” terangnya.
Anthony menyimpulkan bahwa jika dihitung secara keseluruhan, total biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang ditawarkan China sebenarnya jauh lebih mahal dibanding Jepang.
“Biaya proyek dari China yang awalnya USD 6 miliar sebenarnya bisa membengkak menjadi USD 6,9 miliar, jauh melampaui angka yang diajukan Jepang sebesar USD 6,2 miliar,” tambahnya.
Dengan adanya temuan ini, Anthony berharap agar pemerintah dapat lebih transparan dan berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak besar pada keuangan negara. Proyek sebesar ini seharusnya tidak hanya mengedepankan kecepatan pembangunan, tetapi juga keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Komentar