Tokoh Lintas-Agama Desak Penggunaan Ivermectin, Aktivis Nilai ICW Makin Tersudut

JurnalPatroliNews, Jakarta – Kegusaran dua tokoh lintas agama, Romo Franz Magnis Suseno dan Dien Syamsuddin, terkait sikap Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menuding kepedulian Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai mencari rente dan keuntungan pribadi.

Bagi Ketua BEM Universitas Pamulang Afifuddin, kegusaran Romo Magnis dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin, sangat jelas merupakan wujud kepedulian mereka akan nasib sesama dan kemanusiaan. Ia bahkan bisa memahami kalau pun Romo Franz dalam surat pembaca terbuka di Harian Kompas, Senin (26/7/2021) lalu sampai menyodorkan pertanyaan tajam dan menusuk, ”Berapa orang lagi harus mati?”

Dalam surat pembaca itu Romo Magnis menyatakan dirinya gagal untuk mengerti keragu-raguan terhadap Ivermectin, yang dalam banyak kasus terbukti ampuh menyembuhkan Covid -19, sementara setiap hari ratusan—bahkan ribuan—orang meninggal.

“Lho, kok masih ragu-ragu memakai obat Ivermectin secara besar-besaran? Ini keadaan darurat! Ratusan orang mati tak perlu setiap hari,” kata Romo Magnis, mengingatkan.

Terkait harus adanya uji klinis terkait penggunaan obat tersebut, Romo Magnis mengingatkan kondisi darurat saat ini. “Kita tidak bisa menyuruh orang yang mau mati menunggu sampai uji klinik selesai,” kata Romo Magnis. “Sekali lagi. Berapa orang lagi harus mati karena keragu-raguan itu?”

Sementara mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin meminta pemerintah segera menjadikan obat Ivermectin sebagai dalam pengobatan Covid-19. Bagi Dien, dirinya meyakini Ivermectin dapat menjadi obat pilihan untuk perawatan pasien terpapar Covid-19.

Keyakinan itu, kata Dien, setelah dirinya membaca penelitian dan mendengar langsung presentasi Dr. Pierre Kory, Chief Medical Officer of FLCCC (Front Line COVID-19 Critical Care) Alliance, Amerika Serikat, di depan Senat AS yang sungguh meyakinkan dan mempengaruhi kebijakan kesehatan AS.

“Juga di India, setelah menggunakan Ivermectin angka penderita Covid 19 akibat varian Delta turun drastis,” ujar Dien.

Testimoni tentang keampuhan Ivermectin memang disuarakan banyak kalangan. Selain mantan Menteri Kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti yang menyatakan 8 orang karyawannya yang terpapar Covid 19 sembuh karena Ivermectin, begitu pula Peter Gontha, yang mengaku sembuh setelah lima hari memakai Ivermectin.

Di lapangan, Bupati Sragen Untung Wiyono, mengatakan obat tersebut dicoba oleh sejumlah warganya yang terpapar Covid-19, dan sembuh.

“Tablet itu, kata Bupati Untung, harus diminum oleh warga kami yang terkonfirmasi positif dengan dosis sekali sehari. Setelah dikonsumsi selama lima hari, kata Untung, hasil swab kepada warga tersebut negatif.

Sejumlah studi laboratoriun (in vitro) dan studi manusia (in vivo) juga mengakui keampuhan Ivermectin. Studi di India melaporkan orang yang mengonsumsi 2 dosis Ivermectin mengalami penurunan kemungkinan terinfeksi Covid-19 sebesar 73 persen. Sementara Biomedicine Discovery Institute Australia juga melaporkan bahwa Ivermectin dapat membunuh Cobid-19 dalam 48 jam.

Karena keampuhannya, penemu Ivermectin, yakni Satoshi Mura dari Universitas Kitasato, Jepang, dan William Campbell dari Merck, pada 2015 mendapatkan Hadiah Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran.

Namun yang membuat kalangan aktivis muda bertanya-tanya, justru karena sikap ICW. Sementara banyak pihak, termasuk KSP Moeldoko berjuang keras mencari solusi pandemi Covid 19, dengan berinisiatif menyebarkan ribuan paket Ivermectin secara gratis di pusat-pusat lonjakan kasus Cobir -19, sikap ICW justru menuding niat baik itu sebagai memburu rente dan keuntungan materi.

“Sikap seperti itu sangat mungkin membuat warga masyarakat takut untuk terlibat dalam program-program kesetiakawanan atau altruisme untuk membantu sesame,” kata Afifuddin, dalam keterangannya, Rabu (28/7/2021).

Menurut Afifuddin, dalam bahasa agama, sikap terlalu peka dengan peluang untuk mempermasalahkan orang lain itu disebut dengki atau hasad. Meskipun hasad cenderung terkesan normal, perilaku tersebut sangat rawan tergelincir menjadi dosa untuk diri pribadi, dan bencana untuk masyarakat.

“Bahkan ulama besar Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa dengki itu dosa yang pertama kali dilakukan di langit dan di bumi. Di langit adalah dengkinya iblis kepada Nabi Adam’alaihi salam dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil,” kata Afifuddin.

Yang paling berbahaya dari dengki, adalah manakala sifat itu dibiarkan tumbuh oleh pelakunya. Biasanya, kata Afifuddin, orang-orang yang cenderung menumbuhkembangkan sifat buruk tersebut adalah kalangan yang selalu merasa paling benar dari siapa pun.

“Akhirnya, lama-lama hal itu menjadi sikap tidak suka dengan apa pun kebaikan yang dimiliki atau diterima orang lain. Tidak suka terhadap kebaikan, rejeki, prestasi atau pun keberhasilan seseorang,” kata dia.

Itulah yang menurut Afifuddin dilihatnya dari fenomena tudingan ICW kepada Moeldoko, yang notabene tengah berjuang membasmi Covid-19 dan mengusir pandemi dari masyarakat Indonesia. “Kami nggak mau pakai sindiran, kami katakana saja, mereka ini orang yang selalu membuka mata dan telinga lebar-lebar, bukan untuk saling membantu sesama yang kesusahan, tapi mencari peluang untuk memperkarakan orang,” kata dia.

Lebih jauh, bahkan Afifuddin mempertanyakan hati nurani para petinggi ICW dengan keluarnya tuduhan keji tersebut. “Di mana hati nurani mereka, kalau terhadap orang-orang yang berjuang mencari solusi penanggulangan Covid 19 yang membunuh banyak warga itu, yang dikedepankan justru syak wasangka serta curiga yang datang dari hati yang kelam penuh jelaga?” kata dia.

(wte)

Komentar