COP 28: Dengarkan Suara Perempuan, Hentikan Solusi Iklim yang Patriarkis

Pembangunan PLTA Poso atas nama energi terbarukan hingga 515 MW, justru membuat kondisi perempuan lebih buruk. Perempuan tidak dapat lagi mengakses lahan kebun dan pertaniannya,  kehilangan sumber kehidupannya, terbatas akses terhadap air bersih, warisan budaya hingga munculnya masalah kesehatan reproduksi perempuan.

Fakta lainnya juga ditemukan pada perempuan yang terdampak akibat pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal di Nusa Tenggara Timur yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil, maupun Lampung. Perampasan tanah perempuan, ancaman krisis air, polusi udara, hingga menghilangkan nilai-nilai kultural perempuan dengan alam.

Bahkan dalam mempertahankan sumber kehidupannya pun perempuan mengalami represi oleh aparat. Intimidasi, kekerasan hingga kriminalisasi semakin sering dialami perempuan yang memperjuangkan hidupnya yang terdampak krisis iklim.  

Di satu sisi, mandat untuk adanya Rencana Aksi Gender Perubahan Iklim, masih lamban dibahas oleh pemerintah. Sejak adanya kesepakatan dari negara pihak, termasuk Indonesia, membangun Rencana Aksi Gender Perubahan Iklim pada 2019, hingga tahun ini rencana tersebut juga belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia.

Sementara aksi-aksi dan skema mitigasi iklim semakin masif dilakukan pemerintah Indonesia. Akibatnya, kebijakan dan aksi-aksi iklim di Indonesia masih mengesampingkan dan tidak memiliki perspektif keadilan gender. 

Solidaritas Perempuan menilai, cara-cara negara dalam merespon krisis iklim, tidak lebih dari menawarkan solusi-solusi iklim palsu dan patriarkis, karena tidak meletakkan perempuan sebagai subjek penting di dalam merespon krisis iklim. Ini terbukti dengan tidak dilibatkannya perempuan dalam ruang pengambilan keputusan, termasuk tidak adanya persetujuan dari perempuan. Solusi-solusi yang ditawarkan juga menghancurkan pada seluruh aspek kehidupan dan sumber penghidupan perempuan. 

Untuk itu, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada seluruh negara pihak untuk:

  • Segera menghentikan solusi-solusi patriarki yang merampas dan menghancurkan ruang-ruang hidup dan penghidupan perempuan dan membangun solusi-solusi iklim yang meletakkan perempuan sebagai subjek, mulai dari rencana hingga pelaksanaannya;
  • Jalankan transisi berkeadilan yang mengutamakan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia dan Hak Perempuan, dengan pelibatan bermakna serta persetujuan dari perempuan;
  • Segera bangun rencana aksi gender (Gender Action Plan) yang berkekuatan hukum dan menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi perempuan serta mengakui pengetahuan dan pengalaman perempuan di dalam kebijakan dan aksi-aksi iklim, baik adaptasi, mitigasi maupun pendanaan iklim yang tidak bersumber dari utang.

Komentar