COP 28: Dengarkan Suara Perempuan, Hentikan Solusi Iklim yang Patriarkis

Untuk mencapai target ambisius tersebut, Indonesia akan mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership), menurunkan penggunaan energi batubara, pengembangan biodiesel, hingga mekanisme pasar karbon (carbon market) dengan membuka investasi sebesar-besarnya.

Bahkan sebagian besar sumber pendanaan untuk aksi iklim ini masih bersumber dari pendanaan utang yang semakin menambah beban utang perempuan. 

Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya pidato Presiden di perhelatan COP masih menjadi etalase untuk ‘menjual’ tanah dan air Indonesia bagi negara-negara kaya demi membiayai solusi-solusi palsu yang ‘mengatasnamakan’ krisis iklim.

Semua solusi yang ditawarkan masih berbasis investasi dengan mengesampingkan hak asasi manusia, hak perempuan, hak masyarakat adat, hak masyarakat rentan lainnya, dan keberlanjutan lingkungan. 

Solidaritas Perempuan bersama dengan perempuan komunitas menemukan, aksi-aksi iklim di Indonesia, khususnya mitigasi, telah mengabaikan dan mengesampingkan pengetahuan lokal dan pengalaman perempuan yang terdampak krisis iklim.

Skema mitigasi masih lebih dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim. Proyek-proyek iklim yang dilakukan justru tidak melibatkan perempuan, bahkan tidak meminta persetujuan perempuan, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya.

Hal ini berbuntut pada munculnya permasalahan-permasalahan baru yang dialami oleh perempuan. Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim, baik adaptasi maupun mitigasi.  

Fakta yang ditemukan Solidaritas Perempuan dan perempuan komunitas akibat pembangunan PLTA di Poso, Sulawesi Tengah, adalah bukti kegagalan solusi iklim. Di satu sisi, krisis iklim telah mengakibatkan perempuan mengalami beban berlapis.

Komentar