Pokir Bodong Dewan, Polisi Tetapkan Ferryansyah Tersangka

 JurnalPatroliNews – Pontianak,– Program Pokok pikiran (Pokir) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diketahui merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperolehberdasarkan hasil risalah rapat dengar pendapat atau hasil dari penyerapan aspirasi angota dewan sewaktu melakukan reses.

Namun dalam perjalanannya, penggunaan Pokir kerap dihubungkan dengan pelaksanaan proyek yang kerap dikaitkan dengan anggota dewan tersebut.

Hal ini lah yang kemudian kerap menimbulkan masalah. Jual beli proyek Pokir antara anggota dewan yang dalam hal ini melibatkan kontraktor sudah menjadi rahasia umum sering dilakukan.

Meski sebenarnya melanggar aturan, namun praktik ini sulit diungkap. Dalam praktiknya, jual beli Pokir biasanya juga melibatkan broker atau biasa disebut belukar.

Para belukar proyek ini lah yang biasanya mencarikan kontraktor yang bersedia untuk membeli proyek Pokir yang terdiri dari berbagai pengerjaan.

Berbagai cara dilakukan belukar proyek untuk menjual dagangannya. Sebagian mungkin berjalan dengan lancar, namun tidak sedikit proyek yang ditawarkan belukar proyek merupakan proyek fiktif.

Kenyataan ini terbukti setelah adanya salah seorang warga di Pontianak yang menjadi korban proyek fiktif

Korban diimingi proyek mencapai miliaran rupiah. Uang tanda jadi untuk membeli proyek sudah disetor melalui blukar proyek, namun alih-alih mendapat pekerjaan proyek, ternyata proyek yang ditawarkan merupakan proyek fiktif.

Korban telah melaporkan hal ini ke Polda Kalbar. Kasus telah diusut, belukar proyek sekarang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Yang menarik dari kasus ini adalah bagaimana membongkar praktik jual beli proyek dari Pokir anggota dewan yang menggunakan perantara belukar proyek ini.

Iming-Iming Proyek

Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat menetapkan Ferryansyah sebagai tersangka kasus penipuan atau penggelapan uang milik Kiki Zulkifli, salah seorang pengusaha di Pontianak.

Dugaan penipuan yang dilakukan Ferry terhadap korban dengan cara menawarkan pekerjaan Paket Proyek Pokok Pikiran (Pokir), yang disebut bersumber dari para wakil rakyat atau anggota dewan di tingkat Kota Pontianak maupaun Provinsi Kalbar.

Kepada Suara Pemred, Kiki mengatakan, Ferry yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengannya diketahui merupakan mantan atlet bola voli dan sempat dipercaya menjadi pelatih di Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Kota Pontianak.

“Dia juga pernah bekerja di Sucofindo, namun dipecat karena bermasalah dan dia juga sempat menjadi supir anggota DPRD,” kata Kiki saat memulai pembicaraan.

Kehidupan Ferry, menurut Kiki ketika itu dinilainya kekurangan, sehingga memanggil nuraninya untuk membantu ekonomi Ferry, yang juga merupakan pengurus partai politik pemenang di Indonesia dan pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan.

“Ferry ini masih keluarga dengan saya, tidak terlalu dekat, anaknya sering menginap di rumah. Suatu ketika dia datang ke kantor saya, saya pikir oke lah, saya bantu karena kasihan melihatnya,” sebut Kiki.

Keanggotaan Ferry di partai politik ini lah menurut Kiki yang membuat Ferry memiliki banyak kenalan anggota dewan.

Suatu ketika, pada tahun 2016, Ferry  menawarkan kepadanya pekerjaan proyek dari Pokir anggota DPRD yang dikerjakan dengan metode Penunjukan Langsung (PL).

“Nilai maksimalnya Rp200 juta. Proyek bersumber dari Anggota DPRD Pontianak dan Kalbar,” sebutnya.

Saat menawarkan proyek kata Kiki, Ferry bahkan membawa salah seorang anggota dewan untuk membicarakan terkait paket proyek tersebut.

“Di sana kemudian saya diminta membayar 15 persen dari pagu proyek,” ujar Kiki.

Kiki menyetujui permintaan tersebut. Uang Rp100 juta ia berikan dalam bentuk cek dengan iming-iming akan mendapatkan proyek senilai Rp1 miliar. “Proyek itu nanti dipecah menjadi lima proyek PL senilai masing-masing Rp200 juta,” jelasnya.

Tidak hanya satu anggota dewan saja, Ferry juga menawarkan paket proyek lain dari anggota dewan berbeda. Totalnya menurut Ferry pada tahun 2017, ada 18 paket yang ditawakan kepadanya. Semua paket proyek telah dibayarkan uang muka 15 persen sesuai yang diminta.

Keseluruhan paket itu menurut pengakuan Ferry kepada Kiki berasal dari berbagai sumber, tidak hanya dari anggota dewan langsung yang menurutnya sebagai pemilik proyek, melainkan juga berasal dari pihak kedua dari anggota dewan.

“Dia (Ferry) selalu bilang dari anggota dewan A, B, dan C dan kadang-kadang paket itu dia bilang bukan berhubungan dengan anggota dewannya, jadi anggota dewan ini mungkin sudah ada komitmen dengan si A, kemudian (paket) dijual lagi ke B dan dijual lagi ke C,” beber Kiki.

“Jadi ada beberapa kondisi, ada yang Ferry berhubungan langsung dengan si pemilik aspirasi, dan ada juga yang melalui rekanan dia atau melalui orang lain yang dipercaya oleh anggota dewan,” lanjut Kiki.

Kemudian pada tahun yang sama, menurut Kiki terjadi pemotongan anggaran, sehingga semua proyek yang dijanjikan ditunda dan mesti menunggu dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P).

“Karena proyek yang dijanjikan ke saya tidak ada, salah seorang anggota dewan menjanjikan ke saya mengganti uang yang sudah saya setor dengan memberikan proyek di Sambas,” katanya.

Dari 18 paket proyek yang ditawarkan tersebut, menurut Kiki hanya 10 paket yang dikerjakan, sementara sisa delapan proyek yang pengerjaanya di Pontianak sebanyak lima paket dan di Sambas tiga paket ternyata tidak ada.

“Ternyata delapan paket itu fiktif dengan alasan tidak masuk dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya, dan itu disampaikan pada Desember 2017,” tukasnya.

Selain itu, menurut Kiki, Ferry juga dinilai Kiki bersekongkol dengan pihak lain ketika saat melakukan pengerjaan proyeknya. Kiki memang waktu itu mempercayakan ke Ferry soal urusan pengerjaan proyek termasuk pengurusan dokumen ke dinas terkait.

Ferry, kata Kiki pernah memintanya mengerjakan proyek hanya bermodalkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) tanpa Surat Perintah Kerja (SPK).

“Alasannya waktu itu jika menunggu SPK pengerjaan akan terlambat karena sudah penghujung tahun, dan belakangan saya tahu ternyata RAB yang ditunjukan ke saya itu RAB abal-abal,” tuturnya.

Sewaktu pengerjaan proyek, lanjut Kiki, lokasi pengerjaannya juga berubah-ubah. Hal ini pernah ia tanyakan ke Ferry, namun dijawab hal itu sesuai dengan permintaan pemilik proyek yang telah dikonikasikan ke dinas terkait.

“Modus Ferry juga mainkan di anggaran, misalnya Pagu proyek kata dia Rp200 juta ternyata pagunya tidak segitu, nah material sisa proyek itu dia pindahkan ke proyek yang lain,” pungkasnya.

Iktikad Baik

Sementara terpisah, saat dihubungi, Ferryansyah mengaku tuduhan yang disampaikan Kiki kepadanya tidak benar.

“Saya ini bekerja, cari hidup, bukan berarti saya menggelapkan pekerjaan, sudah ada yang dikerjakan, hanya saja orang yang menawarkan ke saya yang fiktif, saya tidak terima dikatakan melakukan penggelapan,” katanya, Selasa (1/6).

Ferry juga menegaskan dirinya juga telah memiliki itikad baik dengan mengembalikan sejumlah uang yang diakui Kiki telah ia gelapkan.

“Itikad mengembalikan uang ada, uang kerjaan saya tidak saya diterima, dan saya sudah membayar uang Rp15 juta sebanyak tujuh kali melalui istri Kiki. Selain itu, ada juga pekerjaan proyek yang saya tawarkan dikerjakan menggunakan CV dia, tapi ditolak,” kata Ferry.

Ferry juga menegaskan kepada Kiki untuk tidak sembarangan menuduh dia, menurut Ferry, Kiki juga memiliki banyak kesalahan yang nantinya juga akan dibongkar ke aparat ke penegak hukum.

“Salah satunya pekerjaan APBN tahun 2017 di Kubu Raya,” katanya.

Lengkapi Berkas

Menurut Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Donny Charles Go berkas perkara tesebut telah dikirim ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, terdapat petunjuk jaksa, berkas dikembali lagi untuk dilengkapi.

Meski begitu, kata Donny terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan lantaran saat diperiksa tersangka berlaku kooperatif.

“Berkas perkara kasus tipu gelap ini sudah dikirim ke JPU. Tersangka koperatif saat diperiksa, sehingga tidak perlu penahanan,” ujar Donny.

Menurut dia, untuk saat ini belum ada potensi tersangka baru disebabkan hasil pemeriksaan, tersangka melakukan tindak pidana tersebut sendirian.

Kasus di Ketapang

Kejaksaan Negeri (Kejari) Ketapang, pernah melakukan pengembangan terhadap beberapa kasus yang diduga terjadi penyimpangan. Kejati sendiri telah melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat dan pelaksana proyek dari Pokok Pikiran (Pokir) Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ketapang pada tahun 2017 lalu.

Saat itu, Kajari Ketapang, Dharmabella Tymbasz melalui Kasi Intel Kejari Ketapang, Agus Supriyanto, SH mengatakan, terkait Pokir DPRD Ketapang tahun 2017 pihaknya telah melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat dan pelaksana proyek di Dinas Pertanian Perkebunan dan Pertenakan (DPPP) Kabupaten Ketapang.

“Kita sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan pokok pikiran atau kita kenalnya dana aspirasi pada tahun 2017 di Dinas Pertanian. Kita sudah memintai keterangan beberapa orang terkait dengan kegiatan yang dimaksud, baik pelaksana maupun panitia,” katanya.

Agus juga mengatakan bahwa penyelidikan yang dilakukan pihaknya masih dalam proses.

Menurutnya tidak menutup kemungkinan ke depan akan memanggil pihak lain, baik pihak Dinas Pertanian maupun dinas-dinas lainnya. Karena proyek kegiatan pokok pikiran dari DPRD Ketapang tersebar di beberapa dinas yang ada di Ketapang.

“Kalau pokok pikiran ini kan banyak, bukan hanya di Dinas Pertanian itu saja, karena untuk sementara cuma itu, tidak menutup kemungkkinan juga di dinas yang lain, kemungkinan akan juga dilakukan klarifikasi terhadap paket proyek yang lain,” ungkapnya.

Antara Aspirasi dan Transaksi

GALIH Fachrudin Qurbany, Diektur Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis (PAKIS) yang juga merupakan Aktivis 98′ mengakui, bahwa Pokok Pikiran (Pokir) DPRD, adalah sesuatu yang masih belum begitu jelas.

Ia mencontohkan, hampir 6 bulan lebih Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut telah melakukan pemeriksaan terhadap kasus Pokir yang melibatkan anggota DPRD Kabupate Garut .

Terhitung sudah 60 dari target 120 0rang yang dijadikan saksi dan terperiksa baik dari kalangan Sekretariat dewan (setwan ), Bapeda, anggota dewan dan ASN pendamping reses. Meski persolan yang menjadi perhatian publik sebagai sebuah “Suprise action” yang ditunggu, dirasa agak lambat penanganannya, namun demikian kita tetap mendukung apa yang tengah dilakukan oleh Kejari garut yang telah melakukan law enforcement sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku .

Mengapa Pokir jadi persoalan yang menggeliat dan menjadi pusat perhatian bagi masurakat garut ?, apakah pokir menjadi mahluk asing  sehingga terjadi “kegagapan  prosedur “ sehingga menimbulkan jebakan batman bagi sejumlah Anggota dewan dalam merealisasikan kebijakan tersebut ? , atau justru Pokir menjadi “Negatif Tools “ bagi oknum anggota dewan untuk memperkaya diri dan menghimpun pundi-pundi atas cost politic yang dikeluarkannya  dalam proses pemilhannya. Atau justru menjadi “Positif Tools” dan sarana ibadah dalam memperjuangkan aspirasi masyakatnya ?

Untuk itu, kita harus memahami kontek hukum dan prosedure  yang menjadi basic referensi anggota Dewan dalam menjalankan tugasnya menjaring aspirasi yang dikemas dalam istilah “Pokir”.

Pokir  DPRD adalah produk usulan hasil reses yang dilakukan oleh anggota DPRD. Reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan yang berasal dari konstituens anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Ini senada dengan yang menyatakan bahwa pokir adalah usulan aspirasi .

Dengan demikian pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat”,(Jaring Asmara ) sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Istilah pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.

Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun tersebut,  ini harus dibaca dan dipahami sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Jadi hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah.

Hal ini karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah dalam hal ini Bupati garut. (3) bahwa Pokir  sebatas saran dan pendapat.

Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan. Jadi Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah, dan (4) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.

Jadi sangat jelas dalam PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah. Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi pelbagai masalah yang akan muncul perihal pokir DPRD.

Dan masalah-masalah tersebut  antara lain:

Pertama, sebagaiman dijelaskan bahwa pokir disampaikan paling lambat 5 bulan sebelum APBD ditetapkan hal tersebut dalam prakteknya ditemukan adanya perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam setahun yaitu bulan April, Agustus dan Desember.

Sementara frekwensi pembahasan APBD hanya terjadi dua kali: pembahasan APBD (murni ) dan APBD perubahan, yakni selambatnya bulan Desember untuk APBD (murni) dan bulan September tahun berjalan untuk APBD perubahan. Sedangkan ketentuan penyampaian pokir DPRD selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD. Namun dalam perakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata oleh DPRD karena sering usulan berupa pokir masuk injury time menjelaskan ditetapkannya APBD.

Masalah kedua, apa wujud output dokumen dari pokir DPRD tersebut?. Secara kelembagaan, seharusnya pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD.

Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah pokir DPRD. Yang terjadi digarut malah bupati melalui Bapeda meminta daftar usulan pokir kepada DPRD .

Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut pokir DPRD.

Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar.

Ketidakjelasan ini, mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi dan bahkan mengatasnamakan kepentingan pribadi anggota dewan  bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pokir DPRD dan terkesan menjadi ajang perlombaan sebanyak banyaknya mendapatkan anggaran dan smakin banyak anggaran semakin banyak pula keuntungan cash back yang bisa diraih.

Atas Ketidakjelasan apa itu pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah “pokir” oleh anggota DPRD. Penyalahgunaan itu antara lain berwujud:

Satu, diasumsikan bahwa pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan.

Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama pokir DPRD. Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan pokir DPRD. Padahal ketentuannya, pokir DPRD merupakan tugas Banggar untuk menyampaikannya.

Dua, dalam perkembangannya pokir berubah wujud menjadi dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana pokir.

Titik tekannya pada sejumlah usulan dana, bukan pada perjuangan aspirasi dan usulan yang terangkum dalam pokir. pokir adalah “teknik dan jurus siluman”anggota DPRD dalam menggasak APBD.

Karena berdasarkan aturan penyampaian pokir 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA). Dimana belum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga. Jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD.

Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana pokir disusupkan. Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal.

Tiga, dalam perkembanganya “pokir” menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD.

Istilah “pokir” telah diketahui umum dikalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD. Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD. Dan proses pengajuan “pokir” sebagai kode dilakukan semua pihak diluar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya “pokir” diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri.

Karena “pokir” yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.

Dan dalam kontek ke-garut-an program pokir seolah terpental jauh dari grand desain RPJMD bahkan misi,visi bupati hari ini yaitu Masyrakat yang bertaqwa, Maju dan sejahtera.

Dari hasil investigasi dan obrolan warung kopi (terselubung ), pokir juga merupakan ladang duit bagi anggota dewan. Anggota Dewan menjadikan  pokir sebagai penghasilan tambahan diluar gaji ,tunjangan dan SPPD, Intinya, ini urusan perut,”.

Dana pokir yang dapat diusulkan berkisar diangka Rp 50 – 200 juta per judul. Masing-masing anggota DPRD dapat mengajukan hingga puluhan judul pokir, meskipun konon jatah pakir terbatas pada nilai nominal tertentu.

Tapi faktanya sangat berbeda jumlah akumulasi usulan dari masing-masing dewan baik dari sisi struktur AKD maupun kelincahan individu anggota dewan dalam melakukan loby-loby kepada SKPD dibawah koordinasi / mitra kerjanya dan Praktek semacam ini sebenarnya sudah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi di kabupaten Garut saja tetapi juga di daerah-daerah lain.

Atas tinjauan  legal formal dan sosio politik, sangat jelas dan terang bahwa  POKIR adalah program legal dan legitimate yang dimiliki oleh setiap anggota dewan bahkan sebuah program yang mulia bagi masyarakat didaerah pemilihannya untuk diperjuangkan dan direalisasikan secara benar.

Karena dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang merasa belum merasa mendapatkan keadilan dalam pembanguan baik fasilitas fisik maupun non pisik dari pemerintah yang harus terus diperjuangkan hak-haknya oleh anggota dewan yang mewakili masyarakatnya.

Oleh karena itu sebagai bagian dari masyarakat garut, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memojokan anggota Dewan “playing Victim “ dan penggiringan opni, akan tetapi lebih pada sebuah telaah “internalisasi kognitif” dan kritik  terhadap praktek oknum anggota dewan dan birokrat yang melakukan “persekongkongkolan jahat “ .

Sehingga  benang kusut yang belum mampu diurut bahkan menjadi The Devil cyrcle ( lingkaran setan ) menjadi sebuah perbaikan yang mendasar, dan menyentuh atas tugas mulia seorang anggota dewan dalam menjaring dan mendorong segenap aspirasi ( Dapil )masyakatnya,yang dituangkan dalam pokir tanpa merasa takut dan hawatir.

Dengan demikian kasus yang menimpa anggota dewan kabupaten garut terkait kasus pokir yang sedang dilakukan proses penyelidikan dan masuk tahap penyidikan oleh Kejari garut bukanlah proses stigmatisasi bahkan menjadikan preseden buruk bagi anggota dewan, terlebih jauh jika keputusan hasil pemeriksaan Kejari tersebut bisa menjadi ajang pembuktian dan krarifikasi publik, jika hasil pemeriksaan tersebut tidak terbukti dan tidak ditemukan adanya penyimpangan dan perbuatan melawan hukum tentu karena berlakukanya sistem funish and reward.

Sehingga stigma tersebut menjadi sebuah selogan “Habis gelap terbitlah terang “ , namun sebaliknya jika terbukti dan ditemukan adanya pelanggaran “Abuse of power”, inilah konsekwensi logis yang harus dipertanggung-jawabkan oleh individu (oknum) maupun secara institusional yang akan semakin memperburuk  image anggota dewan dimata masyarakatnya.

Sebagai sebuah tawaran solusi atas persoalan pokir yang telah  melahirkan bad prejudic (prasangka buruk) dan mendorong terjadinya tranparansi dan informasi publik terhadap sejumlah  program pembangunan yang diusulkan anggota Dewan bersama  Pemda Kabupaten Garut maka harus segera dilakukan :

Harus menggunakan sistem e-planning, sebuah sistem yang mendorong tertibnya pengusulan program pokir,sehingga jika ada “dana pokir” yang diusulkan belakangan /terlambat  tidak bisa diakomodir lagi,  dan ini sudah dilakukan oleh beberapa kabupaten dan kota.

Menggunakan atau membuat e-pokir. Aplikasi e-Pokir berbasis teknologi informasi (TI) yang terintegrasi dengan layanan perencanaan (stategic plan)  milik Pemda . Dengan begitu, Pokok-pokok Pikiran (pokir) elektronik ini dapat secara mudah dianalisa dan disesuaikan eksekutif bahkan bersifat publik.

Sehingga masyarakat dapat melihat apakah dewan yang mewakili daerah pemilihannya berhasil memperjuangkan aspirasinya atau tidak. Penggunaan aplikasi e-Pokir diyakini mampu meminimalisasi tingkat kebocoran maupun penyimpangan. Ini mengingat usulan masyarakat melalui anggota dewan bisa dipantau langsung dengan aplikasi tersebut.

Masyarakat selaku pemilik aspirasi bisa dengan mudah memantau sampai di mana aspirasi tersebut. Sekaligus bisa merunut perkembangannya dari waktu ke waktu. Hal ini segera akan dilakukan oleh daerah Jogakarta.

Sebagai penutup dan sebuah harapan, sudah sepantasnya  program-program pokir yang dimasukan dalam APBD jangan hanya dipikirkan sebatas  dapat menggunakan dan “menghabiskan” anggaran, apalagi dalam rangka meraih cash back ( surplus penghasilan ).

“Karena kalau pembangunan hanya  semata-mata karena kita punya uang ( berbaasis anggaran ) dan ada keuntungan untuk pribadi lalu kita membangun, maka “tukang beca”pun bisa. Jika itu yang terjadi kita harus revisi dan pertanyakan ulang,” katanya.

Instrumen Pengawasan

SEMAKIN tinggi posisi jabatan seseorang maka semakin besar peluang untuk melakukan penyimpangan. Sehingga banyak sekali peluang yang bisa dilakukan hanya persoalannya sejauh mana kekuatan pengawasan yang dilakukan instansi.

Semakin lemah pengawasan maka semakin besar peluang untuk melakukan penyimpangan.

Saat sekarang yang paling riskan yakni kita sangat lemah dalam pengawasan. Hampir dalam berbagai aspek pemerintahan sangat lemah dalam pengawasan.

Kita belum memiliki satu instrumen yang cukup kuat untuk melakukan pengawasan. Hal ini terbukti banyak sekali ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan baik yang bersifat administratif maupun substantif.

Penyimpangan administratif yakni salah dalam pengelolaan administrasi keuangan.

Yakni ada unsur kesengajaan yang disalahkan atau memang ketidakpahaman. Namun yang paling jelas pengawasan begitu lemah.

Jika pengawasan dikuatkan maka seharusnya dari awal sudah bisa dilakukan pencegahan. Bisa juga secara administratif telah betul tetapi secara substantif dari program tidak memiliki arti. Hal ini juga bisa berdampak pada kerugian negara.

Namun masalahnya saat ini hanya secara administrasi yang diperiksa. Tidak mengawasi secara substantif dari sebuah program. Kalau hanya administrasi bisa saja dibuat-buat.

Selama proses pengawasan dilakukan hanya seperti sekarang maka tidak akan bisa secara maksimal. Penguatan secara internal pemerintah daerah harus dilakukan. Sehingga dalam penguatan tersebut memerlukan sebuah lembaga yang independen dan tidak bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Jumlah auditor yang profesional di inspektorat juga sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan volume kinerja yang harus diawasi. Dari sisi itu saja sudah lemah maka tidak mungkin untuk melakukan pengawasan secara maksimal.

Terlebih dikejar waktu sementara ada persoalan lain yang mereka tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Terkesan selama ini memang ada unsur pembonsaian terhadap pengawas yang ada.

Auditor hukum juga harus diperkuat sehingga sejak formulasi kebijakan sudah dilakukan analisis terhadap legal formal kebijakan. Dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan sudah dilakukan pengawasan. Selesai pelaksanaan juga dilakukan pengawasan.

Namun yang terjadi sekarang perencanaan tidak pernah dilakukan pengawasan.

Apakah program tersebut telah sesuai ketentuan dan regulasi. Jadi banyak program pemerintah yang tidak sesuai sasaran. Jangankan untuk mencapai output sudah bermasalah. Apalagi untuk berbicara intermediate maupun ultimate outcome otomatis bermasalah. (din/gar/mes/sms/jee/dok)

 

Komentar