Sembako Dipajaki? Nggak Kasian Sama Rakyat Miskin Pak Jokowi?

JurnalPatroliNews – Jakarta, Pemerintah terus cari cara untuk menambal defisit fiskal yang bengkak. Salah satunya dengan rencana menaikkan tarif pajak di sana-sini. Meskipun kebijakan ini bisa meningkatkan pendapatan negara tetapi harus diwaspadai betul karena bisa berujung kontraproduktif dengan impian menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Tahun pandemi 2020 pemerintah Indonesia membukukan defisit anggaran sebesar 6,09% PDB. Memang lebih rendah dari patokan awal di 6,3% PDB. Namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya di bawah 2% jelas pemerintah tekor sekali.

Melebarnya defisit diakibatkan oleh penurunan pendapatan dari perpajakan yang dibarengi dengan peningkatan belanja pemerintah untuk kebutuhan penyelamatan ekonomi. Penurunan output perekonomian akibat resesi juga membuat tingkat defisit melebar.

Tahun 2021 kebijakan fiskal kontrasiklis masih ditempuh pemerintah. APBN tahun 2021 tak begitu banyak berubah dari 2020. Namun alokasi untuk anggaran belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditingkatkan 22%.

Fokus anggaran PEN pun terlihat bergeser. Jika tahun 2020 alokasi terbesarnya adalah untuk belanja perlindungan sosial, tahun ini yang mendapat jatah terbesar adalah sektor kesehatan dan dukungan untuk UMKM.

Defisit anggaran tahun ini juga dipatok di Rp 1.000 triliun atau setara dengan 5,7% PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai laju sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Jelas defisit yang melebar tidak bisa dibiarkan begitu saja. Selama ini untuk menambal defisit pemerintah mengandalkan utang. Baik keluar negeri maupun ke dalam negeri.

Peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19 sangatlah fantastis. Dilihat dari rasio utang pemerintah terhadap PDB tembus 38,5% di tahun 2020. Padahal setahun sebelumnya masih di 30,5% PDB atau naik 8 poin persentase.

Menerbitkan surat utang global berdenominasi mata uang asing bisa menjadi pilihan apalagi saat kondisi likuiditas global melimpah. Namun adanya sentimen dan peluang bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) akan melakukan tapering menjadi risiko yang diperhitungkan pemerintah.

Sementara jika menerbitkan utang di pasar domestik dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi perekonomian karena ada efek crowding out. Pemerintah juga tak bisa terus menerus mengandalkan BI untuk ikut berpartisipasi dalam pembiayaan APBN lewat mekanisme above the line maupun below the line karena bagaimanapun juga koordinasi di antara keduanya harus dijaga agar tetap prudent.

Salah satu opsi yang tersedia adalah menggenjot penerimaan negara jika belanja pemerintah tak ingin direm lewat peningkatan tarif pajak. Tren beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan pendapatan negara dilakukan pemerintah dengan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT).

Namun untuk 2021 ada beberapa opsi terkait kebijakan perpajakan yang belakangan ini diwacanakan. Pertama adalah pengenaan tarif pajak minimum (alternative minimum tax/AMT) untuk perusahaan merugi sebesar 1% pendapatan brutonya dan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%.

Untuk isu yang kedua juga tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 4A draft RUU KUP tersebut, pemerintah menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Beberapa kelompok barang tersebut diantaranya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara. Menariknya sembako yang dulunya tidak dikenakan PPN rencananya bakal dipajaki juga.

Barang kebutuhan pokok yang diwacanakan bakal kena PPN tersebut antara lain beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi. Kebijakan tersebut jika disetujui maka akan berdampak terhadap inflasi karena PPN sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas transaksi barang dan jasa di suatu perekonomian.

(cnbc)

Komentar