JurnalPatroliNews – Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) harus tetap memperhatikan hak-hak pekerjanya di tengah kabar gangguan produksi yang dapat berujung pada penghentian operasi smelter di Morowali Utara.
Dalam pernyataannya, Yuliot mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tengah mengevaluasi situasi yang dialami PT GNI. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa perusahaan induk PT GNI di China mengalami kerugian besar, yang diduga menjadi pemicu kemungkinan penghentian operasi di Indonesia.
“Setiap perusahaan pasti menghadapi berbagai tantangan. Kita harus melihat apakah ini murni persoalan bisnis atau ada faktor lain yang turut mempengaruhi,” ujar Yuliot saat ditemui di Gedung DPD RI, Senin (24/2/2025).
Ia menegaskan bahwa jika penutupan benar terjadi, maka PT GNI wajib memenuhi seluruh kewajibannya kepada para pekerja. Menurutnya, perusahaan tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja tanpa menyelesaikan hak-hak karyawan.
“Kalau memang kegiatan usaha harus tutup, semua kewajiban harus dipenuhi. Mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawabnya,” tegasnya.
Terkait pencegahan agar kejadian serupa tidak terjadi di smelter lain, Yuliot menyebut pemerintah akan memperkuat mekanisme pengawasan melalui laporan dan penegakan hukum (Gakkum).
“Kita akan terus mengantisipasi hal-hal seperti ini dengan adanya sistem pelaporan dan pengawasan lebih ketat,” imbuhnya.
Sebagai informasi, industri baja tahan karat terbesar ketiga di China, Jiangsu Delong Nickel Industry Co, dilaporkan tengah berada di ambang kebangkrutan. Perusahaan ini memiliki beberapa bisnis pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia, termasuk PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe, Sulawesi Tenggara, serta PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali, Sulawesi Tengah.
Menurut laporan Reuters pada Jumat (2/8/2024), Jiangsu Delong, yang didirikan oleh Dai Guofang pada 2010 dan berbasis di Xiangshui, Provinsi Jiangsu, memiliki kapasitas produksi baja tahan karat sebesar 5 juta metrik ton di China dan 2,5 juta metrik ton di Indonesia. Pada tahun 2022, perusahaan mencatatkan pendapatan sebesar 169,5 miliar yuan (US$23,4 miliar).
Ekspansi besar-besaran Jiangsu Delong di Indonesia menjadi salah satu penyebab krisis finansial yang mereka hadapi. Tingginya biaya operasional serta penurunan harga feronikel memperparah kondisi keuangan perusahaan. Selain itu, usaha patungan di Indonesia dengan kepemilikan saham 48% turut menyumbang kerugian tahunan yang diperkirakan mencapai 1,8-2,2 miliar yuan.
Komentar