Kenangan Jadi Reporter RRI Ketika 44 Tahun Gempa Bumi Seririt

JurnalPatroliNews-Buleleng,– Empatpuluh empat tahun sudah berlalu, tepatnya pada tanggal 14 Juli 1976, gempa bumi besar dengan kekutan 6.2 skala Richter mengguncang Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, dengan episentrum di daratan.

Ketika getaran pertama dari gempa bumi yang mengguncang kabupaten di ujung Utara Bali itu terjadi, sekitar pukul 11.00 Wita di saat kesibukan di depan mesin ketik portable menyiapkan deadline untuk siaran berita kota di RRI Stasiun Singaraja pukul 13.30 Wita.

Disaat pantauan akibat gempa bumi di kawasan Pasar Anyar I, wilayah Kelurahan Banjar Bali, terbetik informasi, bahwa Seririt rata dengan tanah. Seketika itu pula, dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua Yamaha YB milik PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang berplat merah reporter Made Tirthayasa meluncur ke Seririt.

Memasuki kawasan kota Seririt, saat itulah tiba-tiba sepeda motor terpeleset ke pinggir jalan, meski tidak membuat korban dari perkiraan ban roda belakang pecah. Tapi ketika melihat tiang telepon masih bergoyang, ternyata getaran kedua gempa bumi lebih dahsyat mengguncang Seririt yang sempat diwacanakan sebagai Kota ke-sembilan di Bali itu benar-benar luluh lantah.

Jerit tangis warga masyarakat masih terngiang ketika memasuki pusat perdagangan segitiga emas Pupuan-Gerokgak-Singaraja yang disana-sini bongkahan bangunan menyentuh bumi usai diguncang gempa yang dahsyat.

Tim medis asal Singapura mengobati korban gempa

Dari catatan terakhir yang dihimpun, dua bulan sebelum meninggalkan media plat merah yang saat ini sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Singaraja, ternyata gempa bumi Seririt yang diklaim sebagai bencana alam nasional itu menelan korban meninggal dunia sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang. Dilaporkan juga, hampir 75% dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami kerusakan.

Sebagai bencana nasional, Seririt sebagai korban terparah dari guncangan gempa bumi saat itu langsung mendapat peninjauan Presiden Soeharto yang menginjakkan kaki di atas puing reruntuhan bangunan menggunakan pesawat Helikopter.

Bupati Buleleng Hartawan Mataram dengan wajah terharu bersama Muspida dan Ketua DPRD Buleleng menyambut kedatangan kepala negara 32 tahun ini di Seririt.

Mirisnya dari peristiwa gempa bumi yang mengguncang Seririt ini, munculnya isu terjadinya gelombang tsunami di wilayah Seririt. Sehingga masyarakat berhamburan meninggalkan Seririt menuju Kota Singaraja maupun ke tempat yang lebih aman.

Isu gelombang tsunami ini-pun berpengaruh kepada warga masyarakat Kota Singaraja yang harus meninggalkan rumah mencari tempat di ketinggian. Tapi, dari pantauan reporter RRI saat itu langsung ke Seririt, terjadinya gelombang tsunami hanya isapan jempol dan tidak pernah ada.

Sementara itu, pada tanggal 27 Juli 1976 Pemerintah Singapura menanggapi tragedi ini dengan mengirimkan 20 personel tenaga medis ke Bali. Tim yang dipimpin oleh MAJ (DR) Winston Koh, tiba di Bali dengan membawa 3,500 kg pasokan medis dan peralatan.

Tim mendirikan base camp di kota Seririt, Buleleng, dan Tim bekerja berdampingan dengan tim medis lainnya dari Bulan Sabit Merah Indonesia dan beberapa universitas di Indonesia.

Tim medis dikirim setiap hari ke desa-desa sekitarnya untuk membuka posko kesehatan dimana konsultasi medis, pengobatan dan imunisasi diberikan untuk warga masyarakat setempat.

Setelah bekerja sekitar 2 minggu lebih, pada tanggal 15 Agustus 1976, tim medis Singapura ini kembali ke negaranya dengan kontribusi telah merawat sekitar 3.000 pasien korban gempa di Seririt dan sekitarnya.

Itulah kenangan yang tak terlupakan sebagai reporter RRI Singaraja sejak tahun 1970 – 1976 selain selama itu aktif mengasuh acara sastra modern Sanggar Embun Pagi.
Setelah tinggalkan RRI, kemudian ketrampilan jurnalis dari hobi menulis ini secara resmi diterima oleh Pemimpin Perusahaan Bali Post K. Nadha bersama Pemred Raka Wiratma. (TiR).—

Komentar