Mensos Kena KPK, Ini Warning Jokowi soal Korupsi Dana Bansos

JurnalPatroliNews – Jakarta, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara resmi ditetapkan sebagai tersangka pengadaan bantuan sosial Covid-19 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu diduga menerima suap senilai Rp 17 miliar dari dua pelaksanaan paket bantuan sosial terkait sembako untuk penanganan Covid-19.

Kasus diawali adanya pengadaan barang berupa bansos penanganan Covid-19. Ada paket sembako di Kementerian Sosial (Kemsos) dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.

Pada tahapan ini, Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai pejabat pembuat komitmen dengan cara penunjukan langsung rekanan. KPK menduga ada kesepakatan sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.

Baik Matheus Joko Santoso maupun Adi Wahyono mendapatkan fee sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket per bantuan sosial. Artinya, Matheus dan Adi mengambil ‘ceban’ dari paket tersebut.

KPK menyebut, Mensos Juliari Batubara mengetahui langsung penunjukan perusahaan milik anak buahnya. Ada paket bansos Covid-19 periode pertama, diduga diterima fee miliaran rupiah dan turut diterima Mensos Juliari.

“Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp 12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar,” kata keterangan KPK.

Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi Mensos.  Ada uang sekitar Rp 8,8 miliar yang diduga dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.

Kasus korupsi anggaran penanganan Covid-19 yang menjerat anggota Kabinet Indonesia Maju ini memang menjadi sorotan keras. Perilaku ini dianggap tidak berprikemanusiaan karena dilakukan di tengah Indonesia mengalami krisis kesehatan maupun ekonomi.

“Siapa pun yang bermain-main dan menyelewengkan anggaran penanganan pandemi adalah durjana yang mengkhianati negara. Sangat pantas dihukum paling berat,” seru Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo saat merespons KPK melakukan OTT pejabat di Kementerian Sosial kemarin.

Statement Yustinus Prastowo melalui akun Twitter resminya diunggah sebelum yang bersangkutan mengetahui bahwa Juliari Batubara menjadi salah satu pejabat yang ditangkap.

Namun, kejadian ini setidaknya mengingatkan publik terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kala memberikan pengarahan dalam rapat koordinasi nasional pengawasan internal pemerintah tahun 2020.

Dalam rapat yang digelar pada pertengahan tahun ini, Jokowi sempat memberikan ultimatum kepada jajarannya dalam hal pengelolaan triliunan dana yang diberikan pemerintah untuk mengatasi dampak Covid-19.

“Saya tegaskan bahwa pemerintah tidak main-main soal akuntabilitas. Pencegahan harus diutamakan, tata kelola yang baik harus didahulukan,” tegas Jokowi pada 16 Juni lalu.

Jokowi kemudian meminta aparat hukum untuk tidak segan-segan melakukan penegakkan hukum apabila memang terbukti masih ada pejabat yang ‘bandel’ dan menggunakan uang negara yang tidak pada tempatnya.

“Kalau ada yang masih membandel, niat untuk korupsi, ada mens rea, silahkan bapak ibu ‘gigit dengan keras’. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus kita jaga,” tegasnya.

Dua hari kemudian, Jokowi bahkan sempat melontarkan amarahnya di depan seluruh menteri. Amarah tersebut tumpah saat memberikan pengarahan dalam sidang kabinet paripurna pada 18 Juni.

Dengan nada tinggi, kepala negara terlihat berang lantaran masih ada ‘segelintir’ menteri yang bekerja secara biasa-biasa saja dalam situasi krisis.

“Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan? Suasana ini krisis,” tegas Jokowi

Jokowi mengaku geram karena jajarannya tidak sigap dalam menghadapi situasi krisis. Kepala negara bahkan meluapkan amarahnya lantaran kinerja pembantunya tidak membawa kemajuan yang signifikan.

“Tindakan-tindakan kita, keputusan kita, kebijakan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan yang biasa-biasa saja menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini?,” tegasnya.

“Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini [harus] extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya. Enggak ada progres yang signifikan, enggak ada.”

(cnbc)

Komentar