Pakar Sebut : Rancangan Perda anti-LGBT di Makassar dan Garut, ‘Tren Jelang Tahun Politik’

Jurnalpatrolinews.co.id – Rancangan peraturan daerah (raperda) anti-LGBT yang tengah digagas di sejumlah daerah belakangan ini ditengarai muncul sebagai “tren menjelang tahun politik”, yang berpotensi memperburuk diskriminasi dan persekusi terhadap LGBT, kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.

Sementara itu, pemerintah pusat pun dinilai “tidak berbuat banyak” untuk menghentikan peraturan-peraturan diskriminatif tersebut.

Di Makassar, raperda anti-LGBT telah masuk ke dalam program legislasi daerah (prolegda) 2023 sehingga menjadi “prioritas pembahasan”.

Dua anggota DPRD Makassar mengatakan usulan pembahasan raperda anti-LGBT merujuk pada perda serupa yang telah lebih dulu disahkan di kota lain, salah satunya di Bogor, Jawa Barat.

“Itu kan bukan ujug-ujug [tiba-tiba] di Kota Makassar saja, toh di beberapa daerah sudah ada,” kata anggota DPRD Makassar dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Azwar ST, kepada wartawan, dikutip Senin (9/1).

Adapun di Garut, Jawa Barat, usulan pembentukan raperda anti-LGBT ditampung oleh DPRD setempat setelah organisasi masyarakat yang menamai dirinya Aliansi Umat Islam mengklaim “terdapat 3.000 LGBT” di wilayah tersebut.

Kelompok LGBT Arus Pelangi menilai kedua Raperda tersebut akan menambah panjang daftar aturan yang dinilai diskriminatif di Indonesia sejauh ini.

Arus Pelangi mencatat terdapat 45 regulasi anti-LGBT di Indonesia, dan sepanjang 2006 hingga 2018 terdapat 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi.

‘Usulan masyarakat’ hingga ‘tak puas dengan KUHP’

Di Garut, audiensi antara perwakilan DPRD dengan Aliansi Umat Islam pada pertengahan Desember lalu berujung kesepakatan untuk membahas raperda LGBT.

Wawan Sutiawan mengatakan dari ormas itulah DPRD mendapatkan informasi soal adanya “3.000 LGBT” di Garut, meski dia juga menyebut bahwa sumber data itu “belum jelas”.

Dia juga mengklaim bahwa kondisi di Garut “sudah mengkhawatirkan”, sehingga Komisi 4 DPRD Garut “memutuskan mendukung apabila harus ada raperda yang melarang LGBT”.

Menurut Wawan, usulan masyarakat itu dipicu oleh rasa “tidak puas” terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan.

“Mereka memang ingin secara implisit bahwa aturan itu menyebut larangan terhadap LGBT. Nah akhirnya kemarin dari tokoh-tokoh ke kami meminta akan adanya raperda atau rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang LGBT,” kata Wawan kepada wartawan Yuli Saputra dikutip rekan media.

Sejauh ini, Wawan mengatakan rencana penyusunan raperda anti-LGBT tersebut telah memasuki tahap konsultasi.

“Usulan dan keresahan masyarakat” juga menjadi alasan sejumlah anggota DPRD Makassar untuk menyusun raperda anti-LGBT.

“Sudah banyak masyarakat yang datang ke DPRD tentang maraknya fenomena [LGBT] di Makassar ini,” kata Azwar ST.

Azwar menolak raperda itu disebut “diskriminatif” dan “berpotensi mempersekusi” LGBT.

“Ini bukan persekusi, ini adalah sesuatu yang ada dasarnya sebagaimana larangan-larangan lain dalam agama yang ada dasarnya. Tidak serta merta orang yang membenci sesuatu yang dilarang agama dikatakan mempersekusi,” kata Azwar.

Anggota DPRD Makassar lainnya, A Hadi Ibrahim Baso, mengatakan “terlalu dini dan prematur” untuk menyebut raperda tersebut diskriminatif.

Komentar