PMKRI Manokwari Minta Aparat TNI Ditarik Dari Intan Jaya

Jurnalpatrolinews – Manokwari : Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manokwari minta Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara, segera memerintahkan para pimpinan militer (TNI/Polri) menarik kembali pasukan organik di Tanah Papua.

Agenda negara yang dijalankan di Tanah Papua sama sekali tidak memberikan jaminan keamanan, tapi sebaliknya justru menciptakan trauma di tengah warga sipil hingga rohaniawan Katolik.

“Kami mendesak Presiden RI bersama Panglima TNI dan Kapolri, untuk menarik seluruh pasukan organik dari Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya,” Ketua PMKRI Cabang Manokwari, Yulius Woy, dalam konferensi pers yang digelar di Amban Manokwari, Kamis (12/11/2020).

Pernyataan tersebut disampaikan terkait aksi penembakan terhadap katekis (pewarta) Katolik di Tanah Papua telah mengorbankan Agustinus Duwitau, pewarta muda di Stasi Emondi Paroki Bilogai Keuskupan Timika pada 7 Oktober 2020, dan Rufianus Tigau, pewarta Gereja Katolik Stasi Jalae Kabupaten Intan Jaya, pada 26 Oktober 2020.

Agenda besar negara ketika mengamankan wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI dengan kekuatan militer yang berdampak pada kejahatan kemanusiaan dinilai destruktif terhadap nilai spiritualitas.

Yulius Woy menyatakan dua katekis Katolik bukan bagian dari kelompok yang menjadi target militer di wilayah Papua, tetapi keduanya pun jadi korban penembakan. Oleh karena itu, segenap angkatan muda Katolik dibawah organisasi PMKRI mendesak empat Keuskupan Katolik di Tanah Papua tidak terus berdiam atas peristiwa tersebut.

“Kami mendesak empat keuskupan di Tanah Papua, yaitu Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Jayapura, dan Keuskupan Manokwari segera bersikap, sehingga kejadian serupa [penembakan] terhadap umat maupun katekis Katolik di Tanah Papua tidak terulang kembali,” kata Yulius.

Zakarias Wilil, pengurus pusat PMKRI bidang Otonomi Khusus, mengatakan periode berlakunya Otonomi Khusus di Papua, telah membuka ruang dan akses ekskalasi militer di Tanah Papua.

Kondisi itu, kata Wilil, keberadaan aparat keamanan justru menambah ketidaknyamanan warga Papua. Jika dibandingkan dengan masa sebelum adanya Otsus, tanpa penderopan pasukan dalam skala besar, Papua jauh lebih aman.

“Sekarang, ketika ekskalasi militer meningkat di Tanah Papua, nyawa manusia Papua hilang begitu cepat, tak saja warga sipil tapi juga rohaniawan pendeta dan katekis Katolik, seperti rangkaian peristiwa yang terjadi pada September-Oktober 2020 di Kabupaten Intan Jaya Papua,” kata Wilil.

Atas rangkaian peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Tanah Papua, Wilil berharap tim pencari fakta yang melakukan investigasi untuk keadilan bagi para korban, sebaiknya tidak melibatkan unsur TNI/Polri.

“Sampai kapanpun, kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua tidak akan terungkap apabila tim pencari fakta melibatkan unsure TNI/Polri dalam melakukan investigasi,” tambahnya.

Yostan Hilapok dari Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia PMKRI Cabang Manokwari, menilai bahwa penembakan terhadap dua Katolik di Tanah Papua telah melanggar konstitusi dan hirarki gereja Katolik, dan hal itu sebagai kejahatan luar biasa terhadap internal Katolik.

“Berdasarkan kronologis dan fakta-fakta yang kami peroleh, bahwa penembakan terhadap dua katekis Katolik adalah bagian dari kejahatan luar biasa terhadap gereja Katolik di dunia karena Katolik punya hirarki yang jelas dari Kepausan hingga Katekis,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Klemens Arutama, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Manokwari. Dia mendesak Vatikan turun tangan bersama PBB menyikapi peristiwa penembakan pewarta Katolik di Tanah Papua.

“Kami tegaskan bahwa jika pihak Gereja Katolik tidak turun tangan, hingga peristiwa [penembakan] terhadap umat dan pewarta Katolik kembali terjadi di Tanah Papua, maka kami akan menggelar aksi menolak keberadaan Katolik di Tanah Papua,” tukas Arutama. (jubi)

Komentar