Terdeteksi ! Veronica Koman – Benny Wenda Ingin Pakai PON Papua Ciptakan Instabilitas, Ini Rekomendasi BIN

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Wakil Kepala Badan Intelijen Negara Letnan Jenderal TNI (Purn) Teddy Lhaksmana Widya Kusuma menuding ada kelompok separatis Papua (KSP) yang ingin memanfaatan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional ke-20 di Papua untuk menciptakan instabilitas. Teddy mengatakan pihak yang dia maksud yakni Veronica Koman dan Benny Wenda.

“Terdeteksi pula bahwa KSP bermaksud memanfaatkan pelaksanaan PON XX 2021 untuk ciptakan instabilitas untuk menarik perhatian dunia, antara lain Veronica Koman dan Benny Wenda di luar negeri,” kata Teddy dalam Rapat Kerja dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, Kamis, 27 Mei 2021.

Maka dari itu, BIN merekomendasikan agar revisi UU Otsus Papua segera dirampungkan sebelum pelaksanaan PON XX di Papua.

“Amandemen UU Otsus untuk disegerakan agar tidak bersamaan dengan kegiatan PON ke-20 di Papua,” kata Teddy.

Veronica Koman mengatakan pernyataan Wakil Kepala BIN itu membuktikan dirinya menjadi korban kambing hitam pemerintah. Pegiat HAM dan pengacara yang mengadvokasi Papua ini mengatakan, ia belum pernah menyinggung PON sepanjang tahun 2021 ini.

“Saya tidak tahu apa-apa kenapa tiba-tiba dibawa-bawa, saya ini jadi korban kambing hitam pemerintah yang tidak kompeten. Saya tidak bicara PON sama sekali kenapa saya tiba-tiba dituduh mau memanfaatkan PON,” kata Veronica ketika dihubungi.

Veronica menilai tuduhan ini bentuk inkompetensi BIN sebagai lembaga intelijen negara yang tidak berhasil membuat rekomendasi masuk akal. Ia mempertanyakan mengapa Papua yang menjadi daerah konflik malah dijadikan lokasi untuk Pekan Olahraga Nasional.

“Pesan saya ke BIN, kalau tidak kompeten jangan jadikan orang lain kambing hitam. Saya tahun ini belum keluar kata-kata P-O-N dari mulut saya sepatah kata pun,” kata Veronica.

Dalam rapat dengan Pansus RUU Otsus Papua, Teddy menyampaikan hasil pemetaan BIN ihwal situasi di Papua menyangkut rencana revisi UU Otsus Papua. Ia mengatakan berdasarkan pendalaman BIN terdapat tiga front yang aktif menggalang pelaksanaan referendum di Papua yakni front bersenjata, front politik, dan front klandestin.

Teddy mengatakan momentum revisi UU Otsus Papua dimanfaatkan oleh pendukung kelompok separatis Papua untuk memasifkan berbagai aksi. Di antaranya, kata dia, untuk aksi dalam rapat dengar pendapat Majelis Rakyat Papua, aksi unjuk rasa menyusun petisi rakyat Papua, rencana mogok nasional, dan provokasi di media sosial oleh Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (UMLWP).

“(UMLWP) kelompok front politik yang didukung oleh kelompok-kelompok klandestin, melakukan manuver politik dengan mengintervensi dan mengarahkan agenda RDP dan RDPU agar hasil evaluasi otsus Papua merekomendasi penolakan otsus dan mendukung referendum di Papua,” kata Teddy.

Menurut Teddy, BIN mendeteksi gangguan keamanan dirancang untuk menciptakan situasi yang mencekam sebagai salah satu strategi menutupi tindak penyalahgunaan dan penyelewenangan dana otsus selama ini. Ia menyebut gangguan keamanan di Papua dilakukan oleh kelompok front bersenjata yang tersebar di delapan dari 13 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua.

Yakni di Intan Jaya, Lani Jaya, Mimika atau Distrik Tembagapura, Nduga, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, dan Pegunungan Bintang. Di Puncak dan Intan Jaya, kata dia, yang aktif adalah kelompok Goliath Tabuni, Lekagak Telenggen, dan Militer Murib. Sedangkan di Nduga adalah kelompok Egianus Kogoya.

Ia mengatakan dalam kurun 21-24 Mei 2021 telah terjadi 60 kali gangguan keamanan, terdiri dari 13 insiden penembakan, 34 kontak tembak, dan 13 kali insiden gangguan keamanan lainnya. Teddy menyebut sebanyak 8 aparat keamanan gugur dan 14 luka, dari kelompok warga sipil nonkombatan ada 5 orang meninggal dan 9 luka, sedangkan dari kelompok bersenjata ada 22 meninggal dan 1 luka.

(*/lk)

Komentar