Nobel Perdamaian 2021: Enam Tokoh Dunia Pernah Menang, Termasuk Aung San Suu Kyi, Mengapa Mereka Kontroversial?

JurnalPatroliNews – Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 akan diumumkan Jumat (08/10). Apakah ajang ini akan menimbulkan kontroversi, seperti yang terjadi di berbagai kesempatan sebelumnya?

Dianggap sebagai salah satu penghargaan paling bergengsi di dunia, Hadiah Nobel Perdamaian adalah salah satu dari enam penghargaan yang diciptakan oleh mendiang ilmuwan, pengusaha, dan filantropis Swedia, Alfred Nobel.

Namun karena tidak lepas dari unsur politik, penghargaan ini lebih sering terperosok dalam kontroversi daripada nobel di lima bidang lainnya.

Berikut adalah beberapa kasus yang paling diperdebatkan dan satu kelalaian yang tidak terlupakan.

Barack Obama

Barack Obama receives the Nobel Prize in 2009

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Obama baru berkuasa selama sembilan bulan ketika dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2009.

Banyak orang bingung ketika mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2009.

Obama termasuk mereka yang merasa bingung.

Obama bahkan menulis dalam memoarnya tahun 2020 bahwa reaksi pertamanya terhadap pengumuman itu adalah bertanya, “Untuk apa?”.

Dia baru menjabat selama sembilan bulan dan para kritikus menyebut keputusan itu prematur. Pada kenyataannya, batas waktu pengajuan nominasi berakhir 12 hari setelah pelantikan Obama.

Militer AS terlibat perang di Afghanistan, Irak, dan Suriah selama dua periode jabatan Obama.

Yasser Arafat

Yasser Arafat (left) poses with Israeli Prime Minister Yitzak Rabin and Israeli Foreign Minister Shimon Peres during the Nobel Peace Prize ceremony in 1994

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Keputusan untuk menunjuk Yasser Arafat (kiri) sebagai pemenang bersama Hadiah Nobel Perdamaian 1994 menyebabkan perpecahan di panitia pemilihan.

Mendiang pemimpin Palestina ini diberi hadiah nobel pada tahun 1994.

Dia memenangkannya bersama Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin dan Menteri Luar Negeri Israel, Shimon Peres.

Pertimbangannya adalah peran mereka pada Kesepakatan Perdamaian Oslo. Pada dekade 1990-an, kesepakatan itu menawarkan harapan solusi untuk konflik Israel-Palestina.

Keputusan untuk memberikan hadiah kepada Yasser Arafat, seseorang yang sebelumnya terlibat dalam kegiatan paramiliter, menimbulkan kecaman di Israel dan pihak-pihak yang mendukung negara tersebut.

Pencalonan Arafat juga menimbulkan kegemparan di dalam Komite Nobel.

Salah satu anggota komite, Kare Kristiansen, seorang politikus asal Norwegia, mengundurkan diri sebagai bentuk protes.

Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Sikap Aung San Suu Kyi pada krisis Rohingya memicu seruan agar penghargaannya dicabut.

Politikus Myanmar ini memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 untuk perjuangan tanpa kekerasan melawan kekuasaan militer di negaranya.

Namun lebih dari 20 tahun kemudian, Aung San Suu Kyi mendapat kritik keras karena bungkam dan tidak menentang pembunuhan massal dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap orang-orang Muslim Rohingya di negaranya.

Peristiwa yang menimpa kelompok Rohingya digambarkan PBB sebagai ” jelas-jelas genosida”.

Bahkan ada seruan agar penghargaan untuk Suu Kyi itu dicabut, tapi regulasi Hadiah Nobel tidak memungkinkan hal tersebut.

Abiy Ahmed

Ethiopian Prime Minister Abiy Ahmed

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed menerima penghargaan ini pada tahun 2020.

Pada Desember 2020, perdana menteri Ethiopia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas upayanya menyelesaikan konflik perbatasan yang sudah berlangsung lama dengan negara tetangga Eritrea.

Namun setelah lebih dari setahun, muncul pertanyaan tentang kelayakan penghargaan untuknya itu.

Sejumlah kelompok internasoinal mengkritik pengerahan pasukan Abiy Ahmed ke wilayah utara Tigray.

Pertempuran di sana telah menewaskan ribuan orang dan digambarkan oleh PBB sebagai “kehancuran yang meremukkan hati”.

Wangari Mathai

Wangari Mathai

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Wangari Mathai dikritik karena membuat pernyataan tentang asal usul HIV.

Almarhum aktivis Kenya ini menjadi wanita Afrika pertama yang memenangkan Hadiah Nobel. Dia mendapatkan anugerah ini pada tahun 2004.

Meski begitu, kemenangannya disorot setelah dia berbicara tentang HIV dan AIDS.

Mathai menuding virus HIV dibuat secara artifisial sebagai senjata biologis dan dirancang untuk menghancurkan orang kulit hitam.

Hingga kini belum ada bukti ilmiah yang mendukung klaimnya itu.

Henry Kissinger

Henry Kissinger (right) and Le Duc Tho during the negotiations for a cease-fire in Vietnam in 1973

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Henry Kissinger (kanan) dan Le Duc Tho (dengan tangan terangkat) adalah peraih Nobel bersama pada tahun 1973. Namun Le Duc Tho menolak penghargaan tersebut.

Pada tahun 1973, Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Polemik mencuat karena dia terlibat dalam beberapa kebijakan luar negeri kontroversial AS, antara lain pemboman rahasia di Kamboja dan dukungan untuk rezim militer otoritarian di Amerika Selatan.

Kissinger menerima hadiah nobel dengan pemimpin Vietnam Utara, Le Duc Tho.

Mereka dianggap berperan penting dalam merundingkan gencatan senjata dalam Perang Vietnam.

Dua anggota Komite Hadiah Nobel mengundurkan diri sebagai protes atas kemenangan dua figur ini. Surat kabar New York Times kala itu menyebut penghargaan itu sebagai Hadiah Perang Nobel.

Dan hadiah yang tak pernah diterima Gandhi

Mahatma Ghandi enjoys a laugh with his two granddaughters, Ava and Manu

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Gandhi dianggap figur yang semestinya memenangkan Nobel Perdamaian.

Hadiah Nobel juga terkenal karena beberapa kelalaiannya.

Yang paling mencolok adalah tidak diberikannya anugerah ini kepada Mahatma Gandhi.

Meski beberapa kali menjadi nominasi, politikus India yang menjadi simbol gerakan pasifis/nonkekerasan di abad ke-20 ini tidak pernah menerima penghargaan tersebut.

Pada tahun 2006, sejarawan Norwegia, Geir Lundestad, yang saat itu menjabat presiden komite yang memilih pemenang nobel perdamaian, menyebut bahwa minimnya pengakuan atas pencapaian Gandhi merupakan kelalaian terbesar dalam sejarah penghargaan Nobel.

Komentar