Taliban Berkuasa, Power Sharing di Afghanistan Tinggal Angin Lalu Semata?

JurnalPatroliNews – Di tengah situasi politik dan keamanan yang terus berkembang di Afghanistan, diplomat top yang juga merupakan mantan Dutabesar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal ikut buka suara.

Melalui cuitannya di Twitter awal pekan ini (Senin, 23/8), Dino menyayangkan bahwa konsep “power sharing” yang pernah juga diusulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semasa menjabat, tidak berhasil diimplementasi.

“Did u know? Presiden SBY dulu pernah usulkan kepada pemerintah Obama agar diupayakan power-sharing antara Pemerintah Hamid Karzai dengan Taliban sebagai solusi politik damai jangka panjang,” tulis Dino.

Dia menilai bahwa kondisi Afghanistan saat ini mungkin saja berbeda jika pada saat itu usulan tersebut direalisasikan.

“Kalau usulan ini dulu didengar, mungkin Afghanistan tidak seperti sekarang,” sambungnya.

Saat ini, krisis politik tidak bisa dihindari terjadi di Afghanistan, usai kelompok Taliban menguasai ibukota Kabul dan mendepak pemerintahan Presiden Ashraf Ghani tanggal 15 Agustus lalu.

Namun, terlepas dari situasi yang tengah berkembang tersebut, sebenarnya apa itu konsep power sharing? Mengapa konsep itu pernah digadang-gadang bisa jadi solusi damai di Afghanistan?

Berbagi Kekuasaan Politik

Power sharing alias pembagian kekuasaan politik adalah konsep yang mengharuskan pihak-pihak yang bertikai untuk bersama-sama berbagi tanggung jawab dalam pemerintahan suatu negara selama masa transisi.

Konsep power sharing ini telah dilakukan di banyak negara di dunia. The Conversation pada awal bulan ini memuat, di 31 negara di mana kelompok bersenjata mencapai kesepakatan damai yang komprehensif sejak 1989, terdapat 16 kasus yang menggunakan kosep power sharing. Di antara mereka termasuk Kamboja, Afrika Selatan dan Sudan.

Bukan Hal Baru

Ibarat peribahasa, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Permasalah sejumlah negara yang menghadapi pemberontak kelompok senjata tentu berbeda satu dengan yang lainnya. Namun secara garis besar, ada benang merah yang bisa ditarik dan diselesaikan di sejumlah meja perundingan melalui power sharing.

Di Kolombia, misalnya, sebagai bagian dari kesepakatan tahun 2016 antara pemerintah Kolombia dengan gerilyawan FARC, konsep power sharing digunakan untuk mengakhiri konflik. Kelompok militan itu diberikan alokasi lima kursi di Senat yang beranggotakan 108 orang dan lima kursi di Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 178 orang.

Contoh lain, negosiasi damai Nepal 2006 antara pemerintah demokratis Nepal dan pemberontak Maois yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk majelis terpilih yang akan menulis konstitusi baru. Mereka juga memutuskan masa depan monarki berusia 230 tahun, yang oleh Maois disebut “represif” dan ” antidemokratis.”

Hasilnya, majelis itu kemudian memutuskan untuk menggulingkan raja dan menjadi republik. Raja menerima keputusannya dan meninggalkan istana pada tahun 2008.

Kasus lainnya juga terjadi di Burundi. Kesepakatan Arusha tahun 2000 merupakan kesepakatan pembagian kekuasaan yang dicapai antara kelompok pemberontak dan partai politik yang mewakili kelompok etnis Hutu dan Tutsi.

Mereka menyebabkan kantor presiden mengundurkan diri pada April 2003 dan mengakhiri kekuasaan minoritas Tutsi sambil tetap menjaga akses mereka ke kekuasaan di bawah pemerintahan baru yang dipimpin Hutu.

Konsep Power Sharing di Afghanistan

Konsep power sharing ini juga pernah didorong untuk diterapkan di Afghanistan. Salah satu negara yang aktif mendorong konsep itu adalah Indonesia.

Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK) dalam sebuah wawancara dengan media Turki Anadolu Agency di Jakarta pada tanggal 10 Agustus lalu menjelaskan bahwa menilai perdamaian di Afghanistan harus dimulai dengan gencatan senjata dan solusi yang bersifat “win-win” melalui power sharing.

JK menilai, perlu ada peralihan dari konflik bersenjata menjadi pembicaraan politik.

“Power sharing itu katakanlah bikin kabinet, siapa presidennya, siapa perdana menterinya, siapa menterinya, itu kan menjadi suatu pemerintah nasional yang didukung kedua belah pihak,” ujarnya dalam wawancara tersebut.

Sebenarnya, bukan baru kali ini saja JK berbicara mengenai hal tersebut. Sejak beberapa tahun terakhir, dia pernah bertemu dengan pemerintah Afghanistan dan Taliban sebelumnya dalam sejumlah kesempatan untuk mendorong solusi perdamaian tersebut.

Sayangnya, konsep power sharing itu hanya sebatas perundingan di atas meja. Pada kenyataannya hingga saat ini, konsep itu belum juga tampak bentuknya.

JK dalam wawancara tersebut, yang dilaksanakan sebelum perebutan kekuasaan oleh Taliban, menjelaskan bahwa dalam upaya mendorong power sharing tercipta di Afghanistan, banyak hambatan yang muncul, utamanya adalah perbedaan pandangan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban yang belum bisa ditemukan benang merahnya.

Perbedaan itu muncul di banyak aspek, termasuk sistem pemerintahan hingga pendidikan. Hal itulah yang membuat konsep power sharing tidak juga berhasil terealisasi di tanah Afghanistan.

“Jadi tujuannya sama untuk memajukan negeri tapi yang satu dengan cara konservatif, satu lagi secara moderat. Nah ini yang tidak bisa ketemu, kalau ini tidak bisa ketemu maka akhirnya kuat-kuatan,” demikian JK.

Kini, konsep power sharing bak angin lalu di Afghanistan. Belum tampak bentuk nyatanya. Namun begitu, tidak ada satu pun yang bisa memprediksi apa yang hari esok akan hadirkan. Publik dunia masih wait and see apa yang akan dilakukan oleh Taliban di Afghanistan usai memegang kendali negara.

(rmol)

Komentar