Trump Kembali Berkuasa: Babak Baru Ketegangan Ekonomi dan Geopolitik dengan China

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepemimpinan Donald Trump yang baru membuka kembali babak ketegangan dalam hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Trump berencana memperketat perdagangan dengan negara tersebut, termasuk menaikkan tarif impor sebesar 10% terhadap produk China. Langkah ini diklaim sebagai respons atas minimnya kontrol Beijing terhadap perdagangan ilegal seperti fentanil.

Selama kampanye, Trump menuduh China mencuri lapangan kerja AS dan berencana menaikkan tarif hingga 60% untuk melindungi kepentingan domestik. Kongres pun mempertimbangkan pencabutan status perdagangan normal permanen (PNTR) bagi China, dengan dorongan dari calon perwakilan perdagangan AS, Jamieson Greer.

Tarif atau Pemisahan Ekonomi?

Pendekatan pemerintahan Trump terhadap China masih menjadi tanda tanya: apakah bertujuan menarik China ke meja perundingan atau sepenuhnya memisahkan ekonomi kedua negara. Calon Menteri Keuangan Trump, Scott Bessent, melihat tarif sebagai alat negosiasi, sementara Greer menekankan strategi pemisahan (decoupling), meski ini membawa risiko ekonomi jangka pendek.

Selama masa jabatan Trump sebelumnya, perjanjian perdagangan fase satu antara AS dan China sempat tercapai. Namun, meski ada beberapa kemajuan, pandemi COVID-19 menggagalkan perundingan fase dua, meninggalkan isu besar seperti subsidi dan perusahaan milik negara belum terselesaikan.

Masa Depan Perdagangan AS-China

Kini, negosiasi perdagangan baru akan lebih sulit. Kedua negara telah memperkuat pembatasan teknologi dan perdagangan sambil mengurangi ketergantungan satu sama lain. Beijing memperluas peran negara dalam ekonominya melalui subsidi besar dan peningkatan kapasitas produksi.

Trump, yang percaya dirinya sebagai “pembuat kesepakatan,” optimis dapat mengamankan perjanjian baru. Beijing pun mungkin melihat kesepakatan ini sebagai langkah lebih baik daripada mempertaruhkan hubungan dagang senilai $600 miliar.

Dilema Ekonomi dan Kebijakan China

China kini menghadapi tantangan besar, mulai dari menggenjot konsumsi domestik hingga memperkuat kemampuan teknologinya. Kebijakan fiskal seperti subsidi konsumen dan pelonggaran moneter diharapkan dapat merangsang ekonomi, tetapi kecepatan pemulihannya dianggap lambat.

Untuk bertahan dari pembatasan AS, Beijing memprioritaskan kemajuan teknologi, meskipun hal ini menyisakan sedikit ruang untuk mendukung konsumen. China juga harus menemukan keseimbangan antara melawan pembatasan AS dan menjaga stabilitas hubungan dagang global.

Komentar