DPR Diminta Patuhi UU BPK

JurnalPatroliNews – Jakarta, Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf sepakat dengan fatwa yang dikeluarkan Mahkamah Agung terkait calon anggota BPK yang tidak memenuhi kualifikasi formil sesuai amanat UU BPK, dan meminta DPR mematuhinya.

Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan fatwa pelarangan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak memenuhi kualifikasi sesuai amanat UU BPK.

Menurut Asep, hal itu sangat penting untuk mencegah menimbulkan conflict of interest atau konflik kepentingan saat terpilih.

Asep sepakat dengan fawa MA tersebut. Menurutnya, ketatanegaraan terkait objektivitas UU BPK tak perlu lagi ditafsir karena sudah final.

Menurut Asep, Pasal 13 huruf j Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sudah jelas disebut bahwa calon anggota BPK minimal dua tahun harus meninggalkan jabatan lama.

“Ada dua dalam penafsiran UU yakni subjektif dan objektif. Kalau objektif sudah jelas disebut minimal 2 tahun sebagai syarat formil ya harus dipatuhi oleh siapa pun termasuk DPR,” ujar Asep Warlan, Sabtu (28/8/2021).

Menurut Asep, pembangkangan terhadap hukum oleh lembaga negara adalah kejahatan serius. DPR adalah lembaga pembuat UU harus menjadi yang terdepan dalam kepatuhan terhadap UU yang diciptakan sendiri.

Menurutnya, percuma DPR melakukan fit and profer test terhadap calon anggota BPK yang tidak memenuhi syarat formil. Seluruh putusan DPR yang didasarkan pada pelanggaran UU nantinya juga akan batal demi hukum.

Pelanggaran syarat formil, kata Asep, akan menjadi objek TUN dan akan dibatalkan oleh pengadilan. Ini akibatnya tidak hanya administrasi TUN, tetapi akan ada akibat pidana karena kerugian negara yang harus membiayai ulang proses rekrutmen calon anggota BPK.

“Bila melanggar UU, seluruh anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran dan pembangkangan hukum bisa diproses secara hukum yang bisa berakibat pada pemecatan sebagai anggota DPR, salah satu klausul pemberhentian anggota DPR adalah jika secara nyata dan tetang benderang melakukan pelanggaran hukum,” katanya.

Senada dengan Asep, pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang mengatakan, DPR harus patuh dalam pelaksanaan UU BPK. “Terserah DPR, MA kan sudah memberi pertimbangan. Tetapi sebaiknya DPR mengikuti aturan sesuai undang-undang yang ada,” katanya.

Menurut Dian, pejabat pengelola keuangan negara itu adalah mereka yang berkedudukan dalam posisi pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, PPK, bendahara, dan pengawas internal. Bila calon anggota BPK tak memenuhi kualifikasi seharusnya DPR menolaknya.

Dalam penentuan anggota BPK, Mahkamah Agung sudah kedua kalinya mengeluarkan pendapat hukum terhadap pasal 13 huruf (j) UU 15/2006 Tentang BPK yang dimintakan oleh DPR. Tanggal 16 Agustus 2021 DPR bersurat ke Mahkamah Agung meminta pendapat hukum terkait pencalonan Nyoman Adi dan Heri Zoeratin sebagai calon Anggota BPK. Nyoman Adhi diketahui belum genap dua tahun meninggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran di Kemkeu, demikian dengan Heri Zoeratin yang masih menjadi Kuasa Pengguna Anggaran sebagai Sesditjen Perimbangan Keuangan Kemkeu.

Dalam Fatwa atau Pendapat Hukum Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021 Mahkamah Agung memberikan tiga poin. Pertama, bahwa MA berwenang memberikan pendapat hukum. Kedua, calon anggota BPK harus memenuhi syarat dalam pasal 13 huruf j yaitu paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Dan ketiga, Pasal 13 huruf j dimaksud agar tidak terjadi conflict of intrest dalam menjalankan tugas.

Dalam fatwa tersebut sudah sangat jelas MA menyebut pasal 13 huruf j sebagai syarat mutlak calon anggota BPK. MK menggariskan dua hal utama yaitu harus memenuhi syarat dalam pasal 13 huruf j dan tujuan pasal tersebut adalah untuk menghindari conflict of intrest. Conflict of intrest dalam hal ini adalah tujuan atau kemanfaatan hukum yang tujuan hukum tersebut tidak bisa mereduksi norma wajib dua tahun meninggalkan jabatan.

Fatwa yang sama sudah pernah dikeluarkan MA pada tahun 2009 yang juga dimintakan oleh DPR. Dalam Fatwa Nomor 118/KMA/IX/2009, MA juga memberikan pendapat hukum yang yang sama.

Fatwa MA tahun 2009 tersebut dipatuhi oleh DPR dengan membatalkan pencalonan Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti sebagai Anggota BPK dalam rapat paripurna DPR tanggal 29 september 2009 yang dipimpin oleh Ketua DPR Agung Laksono. Sebelumnya Dua orang tersebut telah melakukan fit and proper test di Komisi 11 DPR dan ditetapkan sebagai Anggota BPK untuk dikirim ke presiden.

Namun atas dasar Fatwa MA, maka DPR menganulir penetapan Komisi XI dalam rapat paripurna dan memutuskan nomor urut 8 dan 9 menjadi anggota BPK, yaitu T Muhammad Nurlif dan Ali Masykur Musa.

Sementara Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti dianulir sebagai Anggota BPK karena Gunawan Sidauruk saat itu menjabat sebagai Kepala Wilayah BPK Provinsi Jawa Barat, dan Dharma Bhakti adalah Sekretaris Jenderal BPK.

Dalam jabatan tersebut keduanya merupakan Kuasa Pengguna Anggaran sehingga tidak menuhi syarat formil dalam pasal 13 huruf j UU BPK.

(bs)

Komentar