Meluruskan Pernyataan Bung Radhar yang Keliru

JurnalPatroliNews Jakarta – Membaca tulisan Bung Radhar Tribaskoro yang dimuat pada salah satu media online pada Kamis (2/9), membuat saya terkejut.

Menurut saya, ada salah tafsir dari Bung Radhar, terkait isi pidato Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, saat Rakernas II PAN yang digelar di Rumah PAN (DPP PAN) secara virtual pada Selasa (31/8) lalu.

Ada kegelisahan Bang Zulhas terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, sejak era orde lama, orde baru, sampai era reformasi.

Bang Zulhas pun mengkaji secara mendalam perkembangan demokrasi di Indonesia yang pasang surut.

Pertama adalah, demokrasi parlementer (1945-1959), sistem ini oleh para ahli tidak dianggap cocok, karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya, persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.

Kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965), sistem ini  menyimpang dari UUD 1945, presiden berkuasa penuh dan membatalkan pembatasan periodesasi presiden selama 5 tahun. Kalau saya meminjam istilah Bung Radhar “periode gelap yang menegakan kediktaturan”.

Ketiga Demokrasi Pancasila Era Orde baru (1965-1998), sistem ini sangat konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45. Tapi seiring berjalannya waktu, demokrasi diera orba peran presiden justru dominan dan pada prakteknya demokrasi pada masa ini, nama Pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politik penguasa pada saat itu. Sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Demokrasi Pancasila Era Reformasi (1999-sampai sekarang), iklim demokrasi Indonesia mulai tumbuh subur, ini ditandai dengan dibukanya kran kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Sehingga keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.

Menyoal demokrasi di Indonesia pasca reformasi, bukan kali pertama Bang Zulhas menyampaikannya di depan publik.

Sudah berulang-ulang Bang Zulhas menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini, berbiaya mahal, transaksional, serta melahirkan social distrust yang cenderung memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Sejatinya, apa yang disampaikan Bang Zulhas satu tarikan nafas dengan yang disampaikan Bung Radar.

Bang Zulhas menginginkan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila, yaitu sila ke-4 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.

Karena gagasan kebangsaan PAN adalah jalan tengah, inklusivisme, moderasi, moderat, musyawarah dan kesepakatan/mufakat.

PAN sangat menentang kediktaturan ataupun otoritarianisme yang bertentangan dengan alam demokrasi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45.

Menurut saya, apa yang ditudingkan Bung Radhar terhadap Bang Zulhas hanya miss-interprestasi saja.

Justru PAN mengedepankan musyawarah dan mufakat sebagai pilihan jalan berdemokrasi. Voting sebagai upaya terakhir disaat ditemukan kebuntuan, tapi hal ini sebisa mungkin dihindari.

Semangat Bang Zulhas membawa PAN konsisten mengawal agenda reformasi 1998 dan mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 45 dan Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Lutfi Nasution
Kader PAN dan Aktivis Gerakan 1998

Komentar