Praktisi Hukum Ingatkan ATR/BPN Harus Jujur Peta Terkait Tanah Sigapiton

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Praktisi hukum sekaligus Kuasa hukum keturunan Op.Ondol Butarbutar, DR.Russel Butarbutar, mengingatkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk jujur PETA terkait kasus sengketa tanah Sigapiton supaya pembersihan praktik mafia tanah berkaitan lahan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BODT) yang ada Kec.Ajibata,Kab.Toba bisa terungkap adanya ulah kepentingan mafia tanah dari lingkungan BPN menyangkut lahan Kaldera Danau Toba supaya segera terbongkar.

Pengacara yang sering beri nasihat kepada orang lawan bicaranya, setiap kawan di ingatkan dengan; “halo kawan jangan lupa bahagia” ini, akhirnya buka bicara setelah membaca 2 Keputusan Lembaga Negara, diantaranya SK 352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba, resmi dari Kementerian Kehutanan ditanda tangani pada 21 Juni 2021 , tertulis luas tanah Sigapiton ada 915 ha, sedangkan Surat KSP Kabinet Indonesia Maju yang ditanda tangani Jenderal TNI Moeldoko No B-21/KSK/23/2021 tertanggal 12 Maret 2021 ada seluas 470,81 ha.

“Berkaitan objek tanah yang tertuang di 2 surat penting tersebut, perlu  pihak BPN yang di pimpin Menteri Pertanahan  Sofyan Djalil, jujur,  karena jika dicermati dalam isi surat terdapat perbedaan selisih lahan seluas 445 ha. Ini perlu diungkap karena apalagi keberadaan BPODT dibiayaai oleh Negara, tidak tertutup kemungkinan kelebihan lahan bisa hilang jadi milik mafia tanah yang rakus dan tamak akan harta dunia, sementara BODT dibiayai oleh Negara dari uang Negara pula. Hal itu perlu dicegah guna menghindari konotasi terjadi dugaan “korupsi” atas lahan 445 ha”, tandasnya.

Nah, kembali terkait isi surat, DR.Russel Butarbutar berkomentar, kenapa perlu kejelasannya, yaa lantaran jika pihak BPN dapat mengungkap kondisi yang sebenarnya, tentu menjadi langkah awal penegak hukum untuk memberangus mafia tanah yang kini meresahkan masyarakat, khususnya keturunan Op.Ondol Butarbutar yang ada di sileang-leang sangat stres menghadapi kekuasaan selama ini, apalagi kasus ini sedang menyusun upaya hukum untuk Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, Turunan Op.Ondol berupaya melawan kekuatan pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), ucapnya kepada JurnalPatroliNews, Selasa (12/10/2021).

Praktisi hukum DR.Russel Butarbutar juga meminta agar Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN ) supaya teransparan mau membuka Peta tanah sebenarnya berkaitan seluruh tanah yang ada di wilayah Sigapiton, sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya saat memberikan Sertifikat Hak Pengelolaan kepada BPODT, lantaran kini dijadikan sebagai proyek strategis Pembangunan Nasional pariwisata Kaldera Danau Toba oleh Pemerintah, ungkapnya.

Kita, mendukung Menteri pertanahan jika berani buka peta lahan yang sebenarnya dan beliau harus faham ada apa yang terjadi di Kawasan Danau Toba Sumatera Utara. Terutama berkaitan lahan milik turunan Op.Ondol, ada apa dibalik kasus sengketa tanah Op.Ondol vs BPODT tersebut ? tandasnya.

Karena saat ini lanjut DR.Russel Butarbutar, dalam kasus sengketa tanah hak adat yang sedang terjadi, kita juga menyarankan, Pemerintah, khususnya harus serius supaya benar-benar melihat persoalan Sengketa tanah Sigapiton secara aktif lantaran diduga ada pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya hak hidup bagi warga yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Esa yaitu hak hidup di atas tanah adatnya sendiri.

Perlindungan atas hak-hak yang diperoleh sebagai sumber kehidupan anggota masyarakat hukum adat berdasar hak ulayat dari Masyarakat Hukum Adat tersebut dilindungi oleh hukum dan konstitusi karena sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945  menentukan bahwa “setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.  Meskipun karena perkembangan zaman dan kehidupan masyarakat dalam suasana Indonesia merdeka, kesatuan masyarakat hukum adat mengalami pelemahan baik secara struktur maupun instrumennya, akan tetapi apa yang menjadi hak ulayat atas tanah yang  telah didistribusikan kepada anggota masyarakat hukum adat dan dikuasai secara turun temurun, tidak kehilangan eksistensi ketika masyarakat hukum adat secara struktural melemah.

Bahkan ketika hukum agraria Indonesia terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan tegas menyatakan bahwa hukum agraria Indonesia merdeka didasarkan pada hukum adat.

Oleh arena itu negara harus menghormatinya tanpa pengecualian dan alasan apapun; Bahwa cara pandang positivisme hukum dan peraturan normatif semata yang cenderung menafikan dan mengenyampingkan keberadaan hukum dan hak adat khususnya di Kabupaten Tiba akan menjadi ancaman yang serius. Terlebih tanah-tanah yang ada di Kabupaten Toba merupakan hak ulayat yang bercirikan tanah PAROMPU-OMPUON yang mana pembuktian kepemilikan secara hukum positif akan mengalamai kesulitan. Sementara di satu sisi bisa saja tanah ulayat tersebut diberikan hak pengelolaan kepada seseorang baik itu badan usaha atau korporasi dengan cara diberikan hak pengelolaan di atas tanah ulayat tersebut yang berujung masyarakat akan terusir dari tanah leluhurnya, bukan saja hanya kepemilikan tetapi hak hidupnya juga akan direnggut dengan alasan untuk pembangunan dan percepatan pembangunan. Dalam kasus ini, pertanyaannya, mengapa ada selisih tanah  seluas 445 ha apakah termasuk dalam lahan BPODT dan atau yang sedang diperkarakan?.

“Sebab, bisa saja atau patut diduga ada oknum-onum BPN yang bermain dalam praktek mafia tanah, dan juga penerintah daerah di Kab.Toba.  Maka, perlu Menteri Pertanahan dan KPK memberi perhatian khusus kepada kasus tanah Sigapiton yang ada di Kec. Ajibata, Kab Toba, Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Wilayah pinggiran Danau Toba itu,” tandasnya.

Untuk mendapatkan gambaran, masukan serta solusi-solusi yang perlu dilakukan agar tidak terjadi bentrok Fisik dikemudian hari, hal peta status HGB maupun HGU yang ada disana harus dibuka secara transparan, guna menghidari kerugian diantara uang negara mendirikan BODT, dan Masyarakat Sigapiton tidak jadi korban. Peta lahan sejak dahulu tentu sudah ada di lingkungan BPN dipimpin Sofyan Zalil, janganlah menutup mata supaya mau turun lansung ke lokasi karena rakyat tahu melawan kekuasaan itu memang sangat sulit.

“Kami dari tim penasehat hukume turunan Op.Ondol Butarbutar bersedia mendukung Menteri ATR/BPN terhadap langkah apa yang akan direncanakan untuk memperoleh solusi terhadap masalah pertanahan di Sigapiton tersebut, asalkan mau membuka peta senarnya arsip di pihak BPN itu,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memastikan dirinya siap memerangi praktik mafia tanah yang dilakukan jajarannya. “Kita perangi betul di internal. Kita pecat orang-orang yang terlibat. Saat ini, banyak pro gram pembersihan internal,” ungkap Sofyan dalam diskusi virtual, pada Jumat (8/10) lalu.

Lebih lanjut, Sofyan menegaskan bahwa pihaknya akan memecat pegawai ATR/BPN yang terbukti bermain dengan mafia tanah. Dirinya juga meminta pegawainya untuk melakukan upaya bersih-bersih di lingkungan internal.

Sayangnya, Sofyan Zalil yang dikenal selalu ada posisi disetiap Kabinet itu, tidak ada berbicara apa dasar terbitnya Hak Pengelolaan No.01 tanggal 20 Desember 2018 dan Sertifikat Hak Pengelolaan No.02 Desember 2018. Juga terbitnya Sertifikat, 1.  SHM No. 50 atas nama Sahala Tampubolon seluas 49.315 m, 2. SHM No. 53 atas nama Arif S. Hutapea seluas 10.328 m dan 3. SHM No. 54 atas nama Nanser Sirait seluas 10.459 m, sebab, sebelum lahir dan atau terbit semua sertifikat tersebut, puluhan bahkan ratusan tahun silam yang sejak tahun 1800 bahwa Lahan Sileang-leang sudah ada menjadi Tanah hak ulayat milik Op.Ondol Butarbutar, dan tanah tersebut belum pernah kabur karena tidak memiliki kaki ke kantor BPN dan Bupati Toba, termasuk ke BODT, imbuhnya. (ams/JP).

Komentar