Tinggal Tunggu Pemerintah, 2022 BBM Premium Siap Hapuskan!

JurnalPatroliNews Jakarta – Wacana mengenai penghapusan bahan bakar minyak (BBM) untuk jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium sudah lama terdengar. Namun eksekusinya sampai hari ini belum juga terlaksana.
Sementara itu, realisasi penyerapan bensin Premium hingga Juli 2021 masih jauh dari kuota yang telah ditetapkan pemerintah tahun ini.

Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), serapan Premium sampai Juli 2021 baru mencapai 2,71 juta kilo liter (kl) atau hanya 27,18% dari kuota tahun ini sebesar 10 juta kl.

Apakah artinya mulai tahun depan pemerintah berani dan siap menghapus bensin Premium?

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, pihaknya bersama dengan Kementerian ESDM terus melakukan pemantauan pada tren-tren konsumsi Premium.

Mengenai kapan Premium akan dihapus, menurutnya ini menjadi kebijakan dari pemerintah. Tugas BPH Migas menurutnya melakukan pengawasan dan pengaturan pada penyediaan dan pendistribusian BBM agar tersedia di seluruh pelosok Indonesia.

“Tapi kami melihat bahwa imbauan kepada badan usaha agar agresif sosialisasi dan promosi produk-produk yang ramah lingkungan. Dari kami, RON 88 mestinya sudah ditinggalkan, tapi ini kebijakan pemerintah,” paparnya, Senin (06/09/2021).

Dia menegaskan bahwa Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) ini merupakan bensin yang didistribusikan dengan skema penugasan kepada badan usaha, bukan subsidi. Dalam mengambil kebijakan, apakah Premium bakal dihapus atau tidak, menurutnya pemerintah akan mempertimbangkan segala sesuatunya.

“Saya catat beberapa ide pemikiran berbagai pihak. Bagaimana agar Pertalite yang diberikan subsidi, ini ide-ide yang muncul, tapi tugas kami menjamin BBM tersedia seluruh jenis,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan memang benar Premium ini bukan subsidi. Namun BBM penugasan ini menurutnya berada di wilayah abu-abu.

Pasalnya, Pertamina tidak punya kewenangan dalam menetapkan harga karena regulasi harga juga diatur pemerintah atau dalam hal ini Kementerian ESDM.

“Di dalam aspek transparansi ini ada masalah, subsidi yang mestinya domain negara ini digeser ke domain korporasi, dalam hal ini Pertamina. Selisih harga kalau Premium sekarang di Rp 6.400, harga pengadaan Rp 7.000, selisih ya (ditanggung) Pertamina,” tuturnya.

Namun perlu dicatat bahwa kompensasi yang ditanggung Pertamina ini nantinya juga ada yang direimburse pemerintah setelah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meski bukan dalam term subsidi, melainkan “kompensasi”.

Menurutnya, referensi harga untuk Premium juga tidak jelas. Bahkan, ia menduga-duga jika Program Langit Biru yang dilakukan Pertamina tidak hanya semata-mata karena faktor energi bersih atau lingkungan, tapi juga didorong karena kerugian yang semakin besar bagi perseroan.

“Karena gak disubsidi, kalau ada moving ke Pertalite, jangan-jangan ini bisa tolong keuangan teman-teman Pertamina,” ungkapnya.

(*/lk)

Komentar