Paslon Prabowo – Gibran Adalah Solusi Kebangsaan Kekinian

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr.Saurip Kadi

JurnalPatroliNews – Jakarta – Tanpa memahami latar belakang mengapa Presiden Joko Widodo memilih Prabowo Subiyanto bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Pasangan Calon (Paslon), Capres-Wapres, wajar saja kalau sebagian pendukungnya menjadi kecewa, patah hati, marah dan bahkan berbalik membencinya.

Bagaimana tidak, kalau Jokowi yang menjadi tumpuan harapan dengan karya nyatanya telah membangun pondasi NKRI sebagai wadah dan alat bersama bagi segenap anak bangsa secara setara dengan konsep nation state, ternyata diujung masa jabatannya sebagai Presiden mendadak tampil bak tokoh yang haus kekuasaan dan malah melanjutkan praktek nepotisme yang selama ini subur di negeri ini.  

Sementara PS yang dipilihnya adalah tokoh yang secara umum dipahami sebagai bagian masalah masa lalu.

Ambyarnya Strategi Politik Belah Bambu.

Bukanlah kebetulan, kalau selama lebih dari 9 tahun sejak awal JKW berkuasa, mereka yang terancam kepentingannya melalui dan atau bersama mitra politiknya, mengembangkan politik “belah bambu” dengan thema “KADRUN vs CEBONG”.

Apapun yang dikerjakan JKW salah dan membahayakan negara. Dari sanalah maka penyebaran hoax, fitnah, adu domba dan ujaran kebencian begitu masivenya.  

Disisi lain, dalam riil politik paska Pemilu 2019 secara sistematik dimunculkan 2 kutub calon presiden yaitu Anis Baswedan (AB) mewakili kubu Islam dan Ganjar Pranowo (GP) dari kubu Nasionalis.  

Dalam prakteknya, strategi politik “belah bambu” termaksud kemudian mendadak “AMBYAR” yaitu ketika JKW menjagokan PS dan “gong” nya ketika GRR dipasangkan dengan PS.

Pilihan strategi tersebut sendiri tidak bisa lepas dari perkembang politik di Indonesia paska bangkrutnya komunisme, dimana upaya destabilisasi politik dan keamanan hanya mungkin berhasil manakala membenturkan antara “Islam” dan “Nasionalis”.

Pilihan untuk menjadikan AB sebagai Presiden bagi mereka menjadi sangat mendasar, dalam rangka membesarkan politik aliran atau identitas (Islam). Karena, mustahil AB sebagai seorang demokrat sejati akan menegasikan hak warga negara, dengan mengisolasi tumbuhnya politik identitas yang berbasis agama sekalipun.  

Memang betul dalam negara demokrasi, kehendak untuk mengembangkan politik identitas dengan berbasis agama apapun adalah sah-sah saja, sepanjang dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

Tapi bagi yang paham realita tentang apa dan bagaimana sesungguhnya bangunan NKRI, berkembangannya politik identitas apapun terlebih yang berbasis agama (dalam hal ini Islam), sungguh sangat merisaukan dan wajar saja kalau diposisikan sebagai sebagai “ancaman” atau minimal  “tantangan” atas keutuhan dan eksistensi NKRI kedepan.

Disinilah pentingnya bangsa kita terlebih elitnya memahami bahwa konsep “nation state” yang bercirikan berdirinya negara berdiri diatas sebuah bangsa, bagi NKRI justru terbalik, karena saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 sesungguhnya keberadaan bangsa Indonesia belum ada.

Saat itu adanya bangsa Jawa, Sunda, Batak, Ambon, Madura, Timor, Aceh, Dayak, Bugis, Papua dan lain-lainnya. Bahkan kalau kita merujuk bahwa pengertian nasionalisme sebagai “ Imagined Community” versi Ben Anderson (2001), sesungguhnya sebagai bangsa Indonesia hingga saat ini pun masih dalam proses (“in the making”).

Sementara rasa kebangsaan kita sendiri, terlebih sejak Orde Baru justru negara ikut merusaknya. Bagaimana tidak, kalau sebelum NKRI sudah ada Masyarakat Adat seperti Baduy, Samin, Tengger, Dayak, dan lain-lainnya, dalam prakteknya mereka tidak bisa ber KTP kecuali berbohong dalam kolom agama.

Belum lagi soal kawin campur khususnya untuk Wanita yang beragama Islam dengan Pria Non Muslim, negara tidak mau melayani pencatatan perkawinan mereka.  

Komentar