JurnalPatroliNews – Manado – Pengamat Politik, Prof Welly Areros angkat bicara soal larangan wakil rakyat menyampaikan interupsi saat paripurna berlangsung.
Menurut Welly Areros, tata tertib (tatib) DPRD Sulut yang sudah final tersebut menandakan terjadi kemunduran di lingkungan legislatif.
âSebenarnya bukan hanya mundur lagi tapi bodoh. Interupsi dilarang, suara rakyat dibungkam,â tegas Prof Welly Areros kepada Jurnalpatrolinews.co.id, Rabu (15/9/2021).
Menurut Areros, sejatinya makna interupsi sangat luas apalagi jika menyuarakan kepentingan publik.
Dikatakan, apabila pendapat anggota dewan hanya dirangkum lewat pandangan fraksi, dikhawatirkan tidak lagi murni.
âTerkadang interupsi itu adalah ide dan masukan yang tiba-tiba terlintas di pikiran sesuai dengan pembahasan. Jadi sangat dibutuhkan,â bebernya.
Ia mencontohkan kala paripurna soal anggaran, dan legislator merasa perlu berbicara karena melihat ada yang ganjil.
âJangankan interupsi, tendang meja pun sekali-kali boleh,â tegasnya.
Terpisah, Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Ferry Liando melihat tatib itu sah-sah saja sepanjang diputuskan lewat mufakat.
Ferry Liando menerangkan, DPRD adalah institusi dimana masing-masing anggota punya kesempatan menyatakan pendapat.
Kata Ferry, forum rapat di DPRD merupakan momentum bagi legislator meneruskan aspirasi masyarakat kepada eksekutif.
âNamun kapan itu dapat dengan tepat disampaikan, tentu memerlukan kesepakatan bersama anggota DPRD. Apakah saluran di fraksi sudah cukup atau masih memerlukan pendalaman dalam paripurna. Semua pilihan bisa dilakukan sepanjang ada kesepakatan semua anggota,â terang Liando.
Sekadar diketahui, kalimat yang menuai kontroversi dalam tatib DPRD Sulut ini adalah pasal 101 ayat 4, yang menyebutkan, âdalam hal anggota DPRD menyampaikan aspirasi pada rapat paripurna, disampaikan melalui fraksi dan dituangkan dalam pemandangan umum fraksiâ.
Komentar