Paramadina Public Policy Institute Bekerjasama Dengan Himpunan Pengusaha Pribumi (HIPPI)

JurnalPatroliNews – Jakarta – Setelah 25 tahun reformasi keadaan tetap tidak berkembang baik bagi ekonomi berkeadilan, malah setback ke belakang. Demikian disampaikan Suryani Motik, Ph.D., Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dalam diskusi publik bertema “Ekonomi Berkeadilan dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Dunia Usaha” di Universitas Paramadina Jakarta, Rabu (29/03/2022).

Seminar yang diselenggarakan secara hibrid oleh Paramadina Public Policy Institute bekerjasama dengan HIPPI ini menghadirkan 3 narasumber yaitu Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE, MS, D.E.A, Emil Arifin, MBA., Adrian Wijanarko, MM dan dimoderatori oleh Arif Haryadi, MM.  

Lebih lanjut Suryani mengingatkan pentingnya menyuarakan ekonomi berkeadilan. “Dulu reformasi kita lakukan bersama-sama karena melihat adanya ketidakadilan. Sekarang malah kecenderungan dunia usaha menjadi lebih sulit. Dulu ada yang ditakuti tapi sekarang tidak ada. Korupsi di mana-mana, kalau dunia usaha tidak ikut korupsi juga susah.”

Dari segi kepemilikan tanah juga hanya dikuasai oleh golongan tertentu dengan luar biasa. Akses terhadap sumberdaya dan sebagainya juga sulit ditembus oleh usaha kecil dan orang banyak.

Memang sistem nampaknya bagus, tapi yang dirasakan oleh kawan-kawan usaha kecil di bawah tidak lebih baik.

“Harus diingat bersama bahwa ekonomi berkeadilan itu kebijakannya harus dimulai dari yang makro to the end, dan kalau itu diterapkan maka yang untung rakyat banyak. Kemakmuran harus diberikan sebesar-besarnya untuk rakyat. Tidak hanya fokus di pajak dan bea cukai.” Katanya.

Menurut Guru Besar Universitas Paramadina Prof. Didin S. Damanhuri bahwa sejak awal 1970-an sampai sekarang, mindset pembangun tidak berubah dan hanya mengandalkan trickle down effect yang tidak punya implementasi nyata ke bawah.

Bappenas menurut Didin juga dilucuti dengan hanya perencanaan yang bersifat formalistik.

“Seluruh penerimaan dan pengeluaran negara ada di bawah koordinasi Menteri Keuangan, demikian juga BI, perpajakan, bea cukai dan sebagainya. Hal itulah awal mula yang membuka peluang  tindak pidana pencucian uang dan korupsi besar-besaran yang sampai kini semakin marak.”

Komentar